KERIS Dan EMPU
(Bawa
Rasa Tosan Aji)
Ada pepatah yang menyatakan :
"Penghargaan pada seseorang tergantung karena busananya." Mungkin
pepatah itu lahir dari pandangan psikolog yang mendasarkan pada kerapian,
kebersihan busana yang dipakai seseorang itu menunjukkan watak atau karakter
yang ada dalam diri orang itu.Di kalangan masyarakat Jawa Tengah pada umumnya
untuk suatu perhelatan tertentu, misalnya pada upacara perkawinan, para kaum
prianya harus mengenakan busana Jawi jangkep (busana Jawa lengkap).
Dan kewajiban itu harus ditaati
terutama oleh mempelai pria, yaitu harus menggunakan/memakai busana pengantin
gaya Jawa yaitu berkain batik, baju pengantin, tutup kepala (kuluk) dan
juga sebilah keris diselipkan di pinggang. Mengapa harus keris? Karena keris
itu oleh kalangan masyarakat di Jawa dilambangkan sebagai simbol
"kejantanan." Dan terkadang apabila karena suatu sebab pengantin
prianya berhalangan hadir dalam upacara temu pengantin, maka ia diwakili
sebilah keris. Keris merupakan lambang pusaka.
Pandangan ini sebenarnya berawal
dari kepercayaan masyarakat Jawa dulu, bahwa awal mula eksistensi mahkluk di
bumi atau di dunia bersumber dari filsafat agraris, yaitu dari menyatunya
unsur lelaki dengan unsur perempuan. Di dunia ini Allah Swt, menciptakan
makhluk dalam dua jenis seks yaitu lelaki dan perempuan, baik manusia, hewan,
maupun tumbuh-tumbuhan. Kepercayaan pada filsafat agraris ini sangat mendasar
di lingkungan keluarga besar Karaton di Jawa, seperti Karaton Kasunanan
Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan lain-lain. Kepercayaan itu mulanya dari
Hinduisme yang pernah dianut oleh masyarakat di Jawa. Lalu muncul pula
kepercayaan tentang bapa angkasa dan ibu bumi/pertiwi. Yang
juga dekat dengan kepercayaan filsafat agraris di masyarakat Jawa terwujud
dalam bentuk upacara kirab pusaka pada menjelang satu Sura dalam
kalender Jawa dengan mengkirabkan pusaka unggulan Karaton yang terdiri dari
senjata tajam: tombak pusaka, pisau besar (bendho). Arak-arakan
pengirab senjata pusaka unggulan Karaton berjalan mengelilingi komplek
Karaton sambil memusatkan pikiran, perasaan, memuji dan memohon kepada Sang
Maha Pencipta alam semesta, untuk beroleh perlindungan, kebahagiaan,
kesejahteraan lahir dan batin.
Fungsi
utama dari senjata tajam pusaka dulu adalah alat untuk membela diri dari
serangan musuh, dan binatang atau untuk membunuh musuh. Namun kemudian fungsi
dari senjata tajam seperti keris pusaka atau tombak pusaka itu berubah. Di
masa damai, kadang orang menggunakan keris hanya sebagai kelengkapan busana
upacara kebesaran saat temu pengantin. Maka keris pun dihias dengan
intan atau berlian pada pangkal hulu keris. Bahkan sarungnya yang terbuat
dari logam diukir sedemikian indah, berlapis emas berkilauan sebagai
kebanggaan
pemakainya. Lalu, tak urung keris itu menjadi komoditi bisnis yang tinggi
nilainya.
Tosan
Aji atau
senjata pusaka itu bukan hanya keris dan tombak khas Jawa saja, melainkan
hampir seluruh daerah di Indonesia memiliki senjata tajam pusaka andalan,
seperti rencong di Aceh, badik di Makasar, pedang, tombak
berujung tig (trisula), keris bali, dan lain-lain.
Ketika
Sultan Agung menyerang Kadipaten Pati dengan gelar perang Garudha
Nglayang, Supit Urang, Wukir Jaladri, atau gelar Dirada Meta,
prajurit yang mendampingi menggunakan senjata tombak yang wajahnya diukir
gambar kalacakra.
Keris
pusaka atau tombak pusaka yang merupakan pusaka unggulan itu keampuhannya
bukan saja karena dibuat dari unsur besi baja, besi, nikel, bahkan dicampur
dengan unsur batu meteorid yang jatuh dari angkasa sehingga kokoh kuat,
tetapi cara pembuatannya disertai dengan iringan doa kepada Sang Maha
Pencipta Alam (Allah SWT) dengan suatu upaya spiritual oleh Sang Empu.
Sehingga kekuatan spiritual Sang Maha Pencipta Alam itu pun dipercayai orang
sebagai kekuatan magis atau mengandung tuah sehingga dapat mempengaruhi pihak
lawan menjadi ketakutan kepada pemakai senjata pusaka itu. Pernah ada suatu
pendapat yang berdasarkan pada tes ilmiah terhadap keris pusaka dan
dinyatakan bahwa keris pusaka itu mengeluarkan energi/kekuatan yang tidak
kasat mata (tak tampak dengan mata biasa).
Yang
menarik hati adalah keris yang dipakai untuk kelengkapan busana pengantin
pria khas Jawa. Keris itu dihiasi dengan untaian bunga mawar melati yang
dikalungkan pada hulu batang keris. Ternyata itu bukan hanya sekedar hiasan,
melainkan mengandung makna untuk mengingatkan orang agar jangan memiliki
watak beringas, emosional, pemarah, adigang-adigung-adiguna,
sewenang-wenang dan mau menangnya sendiri seperti watak Harya Penangsang.
Kaitannya
dengan Harya Penangsang ialah saat Harya Penangsang berperang melawan
Sutawijaya, karena Penangsang pemarah, emosional, tidak bisa menahan diri,
perutnya tertusuk tombak Kyai Plered yang dihujamkan oleh Sutawijaya. Usus
keluar dari perutnya yang robek. Dalam keadaan ingin balas dendam dengan
penuh kemarahan Penangsang yang sudah kesakitan itu mengalungkan ususnya ke
hulu keris di pinggangnya. Ia terus menyerang musuhnya. Pada suatu saat
Penangsang akan menusuk lawannya dengan keris Kyai Setan Kober di bagian
pinggang, begitu keris dihunus, ususnya terputus oleh mata keris pusakanya.
Penangsang mati dalam perang dahsyat yang menelan banyak korban. Dari
peristiwa itulah muncul ide keris pengantin dengan hiasan untaian bunga mawar
dan melati.
Tosan
aji atau
senjata pusaka seperti tombak, keris dan lain-lain itu bisa menimbulkan rasa
keberanian yang luar biasa kepada pemilik atau pembawanya. Orang menyebut itu
sebagai piyandel, penambah kepercayaan diri, bahkan keris pusaka atau
tombak pusaka yang diberikan oleh Sang Raja terhadap bangsawan Karaton itu
mengandung kepercayaan Sang Raja terhadap bangsawan unggulan itu. Namun
manakala kepercayaan sang raja itu dirusak oleh perilaku buruk sang adipati
yang diberi keris tersebut, maka keris pusaka pemberian itu akan
ditarik/diminta kembali oleh sang raja.
Hubungan
keris dengan sarungnya secara khusus oleh masyarakat Jawa diartikan secara
ilosoi sebagai hubungan akrab, menyatu untuk mencapai keharmonisan hidup di
dunia. Maka lahirlah filosofi "manunggaling kawula – Gusti",
bersatunya abdi dengan rajanya, bersatunya insan kamil dengan Penciptanya,
bersatunya rakyat dengan pemimpinnya, sehingga kehidupan selalu aman damai,
tentram, bahagia, sehat sejahtera. Selain saling menghormati satu dengan yang
lain masing-masing juga harus tahu diri untuk berkarya sesuai dengan porsi
dan fungsinya masing-masing secara benar. Namun demikian, makna yang dalam
dari tosan aji sebagai karya seni budaya nasional yang mengandung
pelbagai aspek dalam kehidupan masyarakat Jawa pada umumnya,kini terancam
perkembangannya karena aspek teknologi sebagai sahabat budayanya kurang
diminati ketimbang aspek legenda dan magisnya.
RICIKAN
ATAU ANATOMI KERIS
Anatorni
keris dikenal juga dengan istilah ricikan keris. Berikut ini
akan diuraikan anatorni keris satu persatu :
Ron Dha, yaitu ornamen pada huruf Jawa Dha.
Sraweyan,
yaitu dataran yang
merendah di belakang sogogwi, di atas ganja.
Bungkul,
bentuknya seperti
bawang, terletak di tengah-tengah dasar bilah dan di atas ga~qa.
Pejetan,
bentuknya seperti
bekas pijatan ibu jari yang terletak di belakang gandik.
Lambe Gajah,
bentuknya
menyerupai bibir gajah. Ada yang rangkap dan Ietaknya menempel pada gandik.
Gandik,
berbentuk penebalan
agak bulat yang memanjang dan terletak di atas sirah cecak atau ujung ganja.
Kembang Kacang, menyerupai belalai gajah dan terletak di gandik bagian
atas.
Jalen,
menyerupai taji
ayam jago yang menempel di gandik.
Greneng,
yaitu ornamen
berbentuk huruf Jawa Dha ( ) yang berderet.
Tikel Alis, terletak di atas pejetan dan bentuknya rnirip alis
mata.
Janur, bentuk lingir di antara dua sogokan.
Sogokan depan,
bentuk alur dan
merupakan kepanjangan dari pejetan.
Sogokan belakang, bentuk alur yang terletak pada bagian belakang.
Pudhak sategal,
yaitu sepasang
bentuk menajam yang keluar dari bilah bagian kiri dan kanan.
Poyuhan,
bentuk yang menebal
di ujung sogokan.
Landep, yaitu bagian yang tajam pada bilah keris.
Gusen,
terletak di be!akang
landep, bentuknya memanjang dari sor-soran sampai pucuk.
Gula Milir,
bentuk yang
meninggi di antara gusen dan kruwingan.
Kruwingan,
dataran yang
terietak di kiri dan kanan adha-adha.
Adha-adha,
penebalan pada
pertengahan bilah dari bawah sampal ke atas.
NAMA/BENTUK/DAPUR KERIS (jenis lurus)
NAMA/BENTUK/DAPUR KERIS
(jenis LUK 3)
NAMA/BENTUK/DAPUR KERIS
(jenis LUK 5)
NAMA/BENTUK/DAPUR
KERIS (jenis LUK 7)
NAMA/BENTUK/DAPUR KERIS
(jenis LUK 9)
NAMA/BENTUK/DAPUR KERIS
(jenis LUK 11)
NAMA/BENTUK/DAPUR KERIS
(jenis LUK 13)
NAMA/BENTUK/DAPUR KERIS
(jenis LUK 15)
NAMA/BENTUK/DAPUR KERIS
(jenis LUK 17)
NAMA/BENTUK/DAPUR KERIS
(jenis LUK 19)
153. TRI MURDA.
NAMA/BENTUK/DAPUR KERIS
(jenis LUK 21)
154. KALA TINANTANG
155. TRI SIRAH
156.
DRAJIT
NAMA/BENTUK/DAPUR KERIS (jenis LUK 25)
157.
BIMA RANGSANG
NAMA/BENTUK/DAPUR KERIS (jenis LUK 27)
158.
RANGGA WIRUN
159.
KALA BENDU
NAMA/BENTUK/DAPUR KERIS (jenis LUK 29)
160.
RANGGA WULUNG
NAMA/BENTUK/DAPUR TOMBAK
Beberapa hal yang berhubungan
mengenai keris
ADEG IRAS, PAMOR, adalah nama pamor yang menyerupai garis lurus mulai dari
ujung bilah sampai pangkalnya yang bersinggungan dengan bagian ganja. Pada
bagian ganja, pamor ini seolah menyambung lagi sampai kebagian yang
bersinggungan dengan pesi. Pamor ini dinilai baik tuahnya dan tergolong pamor
langka.
AENGTONG TONG, nama desa di Serunggi, Sumenep yang sampai kini masih
membuat keris dan tombak. Desa ini dulu merupakan tempat tinggal para EMPU
yang memenuhi kebutuhan kerajaan Sumenep dan kini masih ada beberapa orang
yang bekerja sebagai pandai keris seperti Jaknal, Jembar, Jekri, Hoji dan
lain lain.
AEROLIT, adalah batu pamor yang sangat keras dan berasal meteor,
bila telah menjadi pamor akan berwarna kuning keabu-abuan. Gradasi warnanya
tidak terlalu kontras dibandingkan dengan kehitaman warna besi dasar sehingga
sulit dilihat mata, pamor dari bahan ini sering juga disebut Jalada.
AKHODIYAT, PAMOR, adalah bagian dari kelompok pamor yang memiliki
kecemerlangan lebih gemerlap dari bagian pamor lainnya. Pada satu permukaan
bilah keris, ada bagian yang kecemerlangan pamornya menonjol dibanding
kecemerlangan pamor disekitarnya dan sepintas lalu mirip dengan lelehan logam
keperakan yang putih mengkilap. Menurut EMPU Fausan Pusposukadgo, ini terjadi
karena suhu yang tepat pada saat penempaan dan bukan dibuat oleh logam perak
seperti dugaan orang, Pamor ini tidak dapat direncanakan dan tergolong pamor
Tiban, pamor ini banyak disukai orang, di Madura dan Jawa Timur disebut Pamor
Deling.
AKIM, nama seorang pembuat keris yang hidup diawal abad 20,
dijaman penjajahan Belanda dan tinggal di kampung 21 Ilir, Palembang.
ALIAMAI, sebutan orang Serawak, Brunei, Sabah dan sebagian
penduduk Mindanau Selatan untuk menyebut keris. Diperkirakan dari bahasa Sulu di
Mindanau Selatan.
ALIP, nama pamor yang selalu menempati sor-soran,
terutama pada sebilah keris, namun kadang ditemui juga di tombak. Termasuk pamor titipan dan pamor Rekan. Bentuknya hanya
merupakan garis lurus, tebal sepanjang sekitar 4 sampai 6 cm dan kadangkala
ujung garis itu membelok patah sedikit. Pamor Alip bukan merupakan pamor Sada
Saler terputus, tetapi sengaja dibuat begitu dan karena titipan kadangkala
terdapat disela pamor lainnya yang lebih dominan.
Bagi sebagian orang, pamor ini
mempunyai tuah baik yakni memperkuat iman, tahan godaan dan tidak tergolong
pamor pemilih hanya pemiliknya harus berpantang terhadap beberapa hal.
AMBER, MINYAK, campuran minyak keris dengan bau yang keras memberi
kesan sakral, ada yang menyebut minyak Misik.
ANDA AGUNG, salah satu bentuk pamor berbentuk garis-garis menyudut,
bersusun-susun, berjajar keatas dari pangkal keujung bilah, tergolong pamor
tidak pemilih dan dipercaya dapat memperlancar karier. Termasuk pamor Miring.
ANGGA CUWIRI, EMPU terkenal pada jaman kerajaan Majapahit sekitar abad
14, buatannya dikenali dengan tanda sebagai berikut : Ganjanya relatif
berukuran panjang dibanding dengan keris buatan jaman Majapahit lainnya. Gulu
melednya berkesan kekar dan kokoh. Buntut cecaknya tergolong ngunceng mati.
Bagian gendokannya montok, gembung. Bilah kerisnya berukuran sedang tetapi
agak ramping dan agak tebal, besinya matang tempaan berwarna hitam kebiruan
namun mempunyai kesan kering. Dibanding dengan bentuk keris secara
menyeluruh, bagian sor-soran agak terlalu lebar, blumbangannya juga lebar dan
luas. Pamornya sederhana, kebanyakan Wos Wutah atau Pulo Tirto.
Keris buatan EMPU Angga
Cuwiri mempunyai kesan penampilan yang keras, berwibawa dan
meyakinkan.
ANDORAN, salah satu
cara mengenakan keris sebagai pakaian kelengkapan Adat Jawa Tengah terutama
di Surakarta. Keris diselipkan di sela lipatan sabuk lontong, diantara
lipatan kedua dan ketiga. Kedudukan keris tegak, ditengah punggung si pemakai
sedangkan hulu dan warangka keris menghadap kekiri. Cara ini dipakai untuk
menghadap orang yang dihormati, umpamanya Raja atau berada ditempat yang
perlu dihormati seperti mesjid, makam dan sebagainya.
ANGGABAH KOPONG, salah satu dari 4 macam bentuk ujung sebilah keris
atau tombak, menyerupai sekam padi kopong biasanya buatan Pajajaran atau
Tuban banyak yang berbentuk Anggabah Kopong.
ANJANI, NI EMPU, EMPU wanita terkenal dijaman Pajajaran sekitar abad 11,
umumnya bilahnya tipis, panjangnya cukup dan manis, besinya pilihan, tempaan
matang dan berwarna hitam. Pamornya tergolong Mubyar, biasanya Udan Mas, Wos
Wutah atau Pendaringan Kebak dan pamor sejenis itu.
ANGGREK KAMAROGAN, KINATAH, adalah hiasan berupa pahatan relief (gambar timbul) pada
sebilah keris atau tombak. Bentuknya berupa rangkaian bunga anggrek. Pahatan
ini hampir selalu dilapisi dengan logam emas atau emas dan perak, paling
sedikit hiasan ini memenuhi setengah bilah. Dahulu yang berhak memakai ini
hanya kerabat Raja dan Patihnya saja.
ANOMAN, Nama dapur keris Luk Lima. Ukuran panjang
bilahnya sedang, memakai kembang kacang, lambe gajahnya hanya satu, pakai ri
pandan, sogokannya rangkap dan panjang sampai kepucuk bilah, selain itu tidak
ada ricikan lain. Keris ini gampang dikenali karena sogokannya yang panjang
tersebut.
ANUKARTO, PAMOR, lihat pamor rekan.
AREN, KAYU, jenis kayu biasanya untuk
tangkai tombak (Landeyan, bahasa Jawa), karena cukup berat biasa dipakai
prajurit berbadan cukup kuat.
ARJANATI, KANJENG KYAI, salah satu tombak pusaka Pura
Pakualaman, Yogyakarta. Bentuknya tidak biasa termasuk Kalawija, bilah lurus,
pipih dan dibagian pangkal seolah digigit moncong Naga bersayap. Sayap naga tersebut dua susun, depan dan belakang dan
masing masing susun memiliki lima bulu. Tombak ini tergolong nom-noman.
ASIHAN, PAMOR, gambar motifnya seolah menyatu antara gambar yang ada di
bilah keris dan pamor yang ada di bagian ganja nya, pamor ini tidak berdiri
sendiri dan selalu digabingkan dengan pamor lain yang lebih dominan seperti
Ngulit Semangka Asihan dan sebagainya.
AWAR-AWAR, KAYU, sering dipakai untuk rangka keris karena memiliki poleng
hitam seperti kayu Timoho walau tidak seindah Timoho serta bahannya lunak.
BALEBANG, dapur keris luk lima, ukuran panjang bilah sedang,
kembang kacang, lambe gajah satu, sogokan rangkap pakai sraweyan, tanpa
greneng. Selain luk lima juga ada Balebang luk tujuh dengan kembang kacang,
lambe gajah satu, sogokan rangkap dan sraweyan.
BALEWISA, KANJENG KYAI, pusaka Kraton Yogyakarta, berdapur Parungsari, wrangka
dari kayu Timoho dengan pendok bunton terbuat dari suasa. Semula milik
Tumenggung Sasranegara kemudian diberikan ke anaknya Tumenggung
Sasradiningrat yang menjadi menantu Sri Sultan HAMENGKU BUWONO I, keris ini
kembali ke Kraton dijaman Sri Sultan HAMENGKU BUWONO V.
BANGO DOLOG, Dapur keris luk tiga , ukuran bilah sedang, memakai
kembang kacang, lambe gajah dua, pejetannya dangkal, memakai tikel alis.
Bagian belakang bilah, dipangkal (sor-soran) tepinya tidak tajam sampai ke
luk yang ke dua selain itu tidak ada ricikan lainnya.
BENDO SAGODO, pamor yang gambarnya merupakan bentuk gumpalan yang mengelompok
rapat, masing masing gumpalan terpisah jarak 0.5 cm – 1 cm dan tergolong
pamor rekan. Tuahnya gampang mencari rezeki dan pamor ini tidak pemilih.
BERAS WUTAH, lihat WOS WUTAH.
BERAS WUTAH PELET, gambaran pada wrangka kayu Timoho yang berupa bintik
besar dan kecil berwarna hitam tersebar tak beraturan, katanya mempunyai tuah
yang baik untuk mencari rezeki.
BESI KUNING, atau wesi kuning sebutan senjata tradisional yang terbuat
logam bewarna kuning biasa berbentuk bukan keris tetapi pangot, patrem, golok
pendek dan orang orang tua mengatakan bahwa besi kuningan merupakan campuran
unsure besi, timah putih, perak, seng, timbal, tembaga, emas. Dipercaya
mempunyai kekuatan gaib menjadi orang kebal terhadap senjata lain.
BESUT, lihat MASUH.
BETOK, salah satu dapur keris berukuran bilahnya lebar
dibandingkan bilah keris lainnya. Panjang bilahnya pendek lurus, gandiknya
panjang, pejetannya dangkal, dan merupakan keris yang tua umurnya.
BIMA KURDA, salah satu dapur keris luk 13, memakai kembang kacang, jenggot
susun, lambe gajah satu, tanpa sogokan, tanpa tikel alis. Selain itu memakai
Sraweyan dan greneng lengkap. Selain luk 13 ada juga yang luk 23 dan ukuran
kerisnya lebih panjang dari kalawija, ricikannya memakai kembang kacang,
lambe gajah dua, sogokannya dua, ukurannya normal, memakai greneng lengkap
atau hanya ri pandan.
BIRAWA, KANGJENG KYAI, keris pusaka Kraton Yogyakarta, berdapur Carita,
luk 11. Wrangkanya terbuat dari kayu Timoho dengan pendok dari emas bertahta
berlian. Semula ini punya Sultan HAMENGKU BUWONO I yang dianugrahkan ke
Pangeran Hadikusuma, putranya, akhirnya setelah berganti ganti pemilik
kembali lagi ke Kraton dengan harga 300 ripis.
BIRING DRAJIT, salah satu dapur tombak lurus, bilahnya simetris. Sisi
bilah tombak di bagian tengah ada lekukan dalam,bentuknya menyerupai pinggang
yang sempit dan ramping, bagian bawah pinggang ini lebih lebar dibandingkan
bagian atas pinggang. Disisi paling bawah ada dua bagian yang menyudut.
Tombak ini memakai ada-ada tipis
ditengah bilah mulai bawah sampai ke ujung. Separuh bilah tombak kebawah
permukaannya berbentuk ngadal meteng tetapi selebihnya datar saja.
BIRING LANANG, salah satu dapur tombak lurus seperti Biring Drajit,
Sisi bilah tombak di bagian tengah ada lekukan dalam,bentuknya menyerupai
pinggang yang sempit dan ramping, bagian bawah pinggang ini lebih lebar
dibandingkan bagian atas pinggang. Disisi paling bawah ada dua bagian yang
menyudut.
Tombak ini memakai ada-ada tipis
ditengah bilah mulai bawah sampai ke ujung. Separuh bilah tombak kebawah
permukaannya berbentuk ngadal meteng tetapi selebihnya datar saja.
BLABAR, KANGJENG KYAI, nama pusaka kraton Yogyakarta berdapur Pasopati berpamor
sekar pala dengan wrangka kayu cendana, pendok dibuat emas murni dan berbentuk
blewehan. Keris ini merupakan putran atau duplikat dari pusaka kraton
Surakarta yang juga bernama Kyai Blabar. Semula dimiliki Pangeran Hadikusumo
tetapi pada pemerintahan HAMENGKU BUWONO V ditarik kembali ke kraton.
BLARAK NGIRID, termasuk pamor miring dan rekan bentuknya mirip daun
kelapa dengan pelepahnya dan tuahnya untuk kewibawaan dan kepemimpinan, pamor
ini kadang disebut Blarak Sinered atau Blarak Ginered. Pamor ini tergolong
mahal dan susah pembuatannya.
BLANDARAN , LANDEYAN, tangkai tombak sekitar 3 atau 4 meter panjangnya, dahulu
digunakan prajurit berkuda mengejar musuh atau acara Rampogan dan Watangan
(latihan perang-perangan untuk prajurit berkuda) setelah ujungnya diganti
dengan semacam bahan lunak.
BLANDONGAN, alat untuk merendam tosan aji sebelum dicuci dan
diwarangi, terbuat dari kayu keras dengan ukuran 70 cm x 20 cm x 15 cm,
tengahnya ada lekukan dan kadang diukir. Blandongan disebut juga Kowen.
BLUMBANGAN, atau Pejetan atau Pijetan adalah bagian keris yang
berupa cekungan atau lekukan pada bagian bawah bilah keris letaknya
dibelakang bagian gandik dan didepan bagian bungkul
BANCEAN, Wrangka kombinasi gaya Surakarta dan Yogyakarta
disebut juga Bincihan.
BANDOTAN, Salah satu dapur tombak luk tujuh, sepertiga panjang
tombak lurus sedangkan dua pertiga baru ada luk nya, sisi kiri/kanan bawah
ada gandiknya berukir naga kadang dihias kinatah, badan kedua naga tersebut
menyatu dan menghilang membentuk ada-ada yang besar dan menonjol mengikuti
luk.
BANJURA, KI EMPU, seorang EMPU pada kerajaan Demak dan jarang tercatat
dibuku, buatannya bentuk ganjanya datar, rata dan tipis, guru melednya kecil
, sirah cicaknya panjang tetapi tidak sampai meruncing pada bagian ujung.
Bilahnya sedang dan ramping seperti buatan EMPU Majapahit tetapi besinya
memberi kesan “kering” berpori dan kurang tempaan, pamornya
sederhana, kembang kacangnya ramping tetapi lingkarannya besar, blumbangannya
berukuran dalam tapi sempit, sogokannya dangkal dan panjangnya cukup, secara
keseluruhan memberi kesan wingit.
BANYAK ANGREM, salah satu dapur tombak seperti angsa mengeram, tidak
symetris, lebar bagian bawah, permukaan datar tetapi memakai ada-ada tipis
ditengah bilah, ricikan lain tidak ada. Dapur ini banyak terdapat pada tombak
lama dan dibuat bukan untuk berperang tetapi sebagai pusaka.
BANYAK WIDE, EMPU, hidup jaman Pajajaran, ada yang menyebut namanya Ciung
Wanara, hasil karyanya ganjanya tergolong panjang (ganja wuwung), guru meled
juga panjang, sirah cecak membulat tetapi tepat bagian cocor meruncing kecil
, besi keris hitam berkesan padat dan liat dan secara keseluruhan memberi
kesan angker, wingit.
BARU, nama salah satu dapur tombak lurus, Bilahnya simetris.
Bentuk menyerupai daun bambu dengan sedikit lekukan landai dibagian bawah pinggangnya.
Lebar bilah bagian bawah sedikit lebih lebar daripada bagian atas pinggang.
Tombak ini memakai bungkul dibagian sor-soran, bilah diatas sor-soran
berbentuk ngadal meteng. Dapur Baru ini tergolong popular, banyak dijumpai
terutama pada tombak buatan Majapahit dan Belambangan.
BARU CEKEL, nama salah satu dapur tombak lurus, bagian tengah bilah
agak kebawah ada tekukan landai membentuk semacam pinggang yang cukup
ramping, memakai ada-ada dan bungkul kecil. Sisi bilah paling bawah bentuknya
menyudut, tetapi permukaan bilah yang menghadap kebawah bentuknya datar.
BARU GRONONG, nama salah satu dapur tombak lurus, bilahnya simetris,
bentuknya pipih, tipis, mempunyai lekukan landai dibagian tengah bilah yang
menyerupai pinggang. Lebar bilah bagian atas lebih sempit disbanding bagian
bawah pinggang. Diatas metuk ada bungkul. Tombak ini memakai kruwingan dikiri
kanan bagian bungkul tetapi permukaan bilahnya tidak memakai ada-ada.
BARU KALANTAKA, salah satu dapur tombak lurus, dibagian sisi tengah bilah
ada lekukan landai membentuk semacam pinggang yang tidak begitu ramping.
Bagian dibawah pinggang ini lebih besar daripada bagian diatasnya. Memakai
ada-ada, dibawah ada-ada ada bungkul kecil. Sisi bilah yang menghadap kearah
bawah membulat membentuk semacam separuh elips.
BARU, KANGJENG KYAI, tombak pusaka Kraton Yogyakarta, berdapur baru, semula
milik Ki Sawunggaling dari Bagelen kemudian diberikan ke Pangeran Mangkubumi
melawan penjajahan Belanda.
BARU KUPING, nama salah satu dapur tombak lurus, bilahnya simetris,
menyerupai daun bambu, dengan sedikit lekukan landai pada bagian bawahnya.
Hampir mirip bentuknya dengan tombak dapur Baru. Lebar bagian bawah pinggang
sedikit lebih kecil dari atas pinggang, memakai bungkul diatas mentuk,
permukaan bilah tombak diatas bagian bungkul berbentuk ngadal meteng.
BARU PENATAS, tombak salah satu dapur lurus, simetris, pipih dan tipis.
Mempunyai lekukan seperti pinggang ditengah, lebar bagian bawah pinggang
lebih besar daripada bagian atas, diatas bagian metuk ada bungkul
besar, permukaan bilah tombak diatas bungkul berbentuk ngadal meteng.
BARU TEROPONG, salah satu dapur tombak lurus, bagian tengah ada tekukan
landai seperti pinggang tetapi tidak begitu ramping. Bilahnya agak tebal,
tidak memakai ada-ada tetapi memakai bungkul berukuran besar namun tipis dan
tidak begitu menonjol. Permukaan bilah tombak berdapur umumnya nggigir
sapi.
BASSI PAMARO, sebutan bagi pamor Luwu, biasa dipakai
orang Malaysia, Singapore dan Brunei dan menjadi bahan dagangan semenjak
jaman Majapahit.
BATANG GAJAH, KANGJENG KIAI, Keris pusaka Kraton Yogyakarta berdapur Carita Luk 11,
wrangkanya kayu Trembalo, pendoknya emas blimbingan rinaja warna.
BATU LAPAK, pamor yang selalu menempati bagian sor-soran sebuah
keris, badik, pedang atau tombak. Bentuknya merupakan berkas garis yang
melengkung setengah lingkaran atau menyudut dan tergolong pamor miring serta
pamor rekan , tuahnya bisa melindungi dari bahaya tak terduga.
BAWANG SEBUNGKAL, pamor dengan bentuk mirip dengan irisan bawang, menempati
sor-soran keris tergolong pamor miring dan rekan. Tuahnya memelihara
ketenangan dan ketentraman rumah tangga.
BEKEL JATI, EMPU, hidup di Tuban pada jaman Majapahit, tanda kerisnya
Panjang bilah sedang, condong kedepan sehingga berkesan menunduk, lebar bilah
dan ketebalannya cukup, bagian ganja agak sempit dibandingkan buatan Tuban
lainnya dan termasuk ganja wuwung.
BADAELA, pamor yang dianggap kurang baik termasuk pamor tiban dan
terletak di sor-soran, karena tuahnya buruk maka sering diberikan ke museum atau
dilarung.
BAKUNG, nama dapur keris luk lima, ukuran panjang bilahnya
sedang. Cekungan pejetannya dalam, tikel alis dan greneng, selain itu tidak
ada ricikan lain.
CACAP, Suatu kebiasaan keliru yang dilakukan pemilik keris dimasa
lampau yaitu merendam bilah kerisnya dengan bisa ular atau isi perut
ketonggeng, hal ini bisa merusak bilah .
CACING KANIL, nama salah satu dapur tombak luk 3, 5 atau 7, mirip cacing
menggeliat dan berbentuk beda dengan luk keris biasa, pada cacing kanil maka
luk mengarah kesegala arah. Tombak dengan motif cacing kanil tidak pipih
tetapi bulat atau persegi, bisa segi 3, 4 atau berbentuk belimbing.
Tombak cacing kanil sekarang
berubah fungsi bukan sebagai tombak tetapi banyak digunakan sebagai tongkat
komando.
CALURING, atau Cluring merupakan dapur keris luk 11, memakai kembang
kacang dengan sogokan rangkap tanpa ricikan lain, bilah panjang dan tebal,
luk nya makin keujung makin rapat, keris ini mudah dikenali dari luk nya.
Ada juga Caluring luk 13 dengan
ricikan yang sama.
CAMPUR BAWUR, keris luk 3, ukuran bilah sedang, luk ada di atas, bawah
dan tengah keris sehingga keris cenderung lurus. sogokan keris rangkap,
memakai greneng dan pejetan.
CANCINGAN, lihat KANCINGAN.
CARANG MUSTOPO, EMPU, hidup dijaman PAKU BUWONO IV, dikenal juga sebagai EMPU
Kyai Mustopo, kerisnya dikenali sebagai berikut , ganja model Sebit Ron Tal,
gulu meled sempit, buntut cicak model buntut urang, ukuran ganja seimbang dan
serasi dengan panjang bilah. Bilah ramping dengan posisi agak merunduk,
matang tempaan dan rapih, keris yang lurus rata rata lebih tebal dibandingkan
yang luk. Pamornya sederhana berpenampilan tampan, sopan dan rapi
menyenangkan.
CARANG SOKA, Keris luk 9, memakai kembang kacang, lambe gajah satu,
sraweyan, ri pandan.
CARITA, keris luk 13, ukuran bilah sedang memakai kembang kacang,
lambe gajah satu, sogokan rangkap dan greneng. Ada juga Carita luk 11.
CARITA BUNTALA, keris luk 13, bilah sedang,
kembang kacang, lambe gajah satu, sraweyan, ri pandan, kruwingan tidak
melengkung landai tetapi berbentuk patah kaku. Ada juga luk 15, memakai
kembang kacang, lambe gajah dua, memakai jalen, sraweyan, ri pandan.
CARITA DALEMAN, keris luk 11, panjang bilah sedang, kembang kacang
bungkem, jenggot dan greneng serta lis-lisan dan gusen.
CARITA GANDU, keris luk 11, ukuran sedang, kembang kacang, jenggot,
lambe gajah satu, sraweyan dan ri pandan.
CARITA GENENGAN, keris luk 11, bilah sedang, luknya dalam, kembang
kacang, jenggot dan lambe gajah satu, sogokan rangkap, sraweyan dan ri
pandan. Dapur ini
disebut juga Carita Gunungan.
CARITA KANAWA, keris luk 9, panjang bilah sedang,
kembang kacang, lambe gajah dua, jalen dan jalu memet, dus sogokan normal,
sraweyan, lis-lisan, gusen, kruwingan.
CARITA KAPRABON, keris luk 11, bilah sedang, gusen
sampai keujung bilah, kembang kacang, tikel alis, jenggot, jalen, jalu memet,
lambe gajah dua, sraweyan, ri pandan, greneng tanpa sogokan.
CARITA PRASAJA, keris luk 11, bilah sedang, kembang kacang dan lambe
gajah dua.
CARUBUK, keris luk 7, panjang bilah normal, kembang kacang, lambe
gajah dua, sraweyan dan greneng lengkap, ada yang mengatakan harus ditambahi
dengan kruwingan.
CELURIT, senjata tradisional Madura, mirip arit, sabit tetapi
bagian lengkung diujungnya lebih panjang dan runcing.
CENDANA KAYU, bahan pembuat wrangka yang banyak disukai terutama
didaerah Surakarta sekitarnya. Pohonnya berkayu keras dengan tinggi bisa
mencapai 15 m, kayu cendana dari Sumbawa terkenal harum baunya lebih dari
cendana jawa. Urat kayu cendana yang bagus disebut ngulit urang, doreng,
makin bagus makin mahal harganya.
CENGKRONG, salah satu dapur keris lurus, bilahnya sedang posisinya
agak membungkuk, bagian gandik terletak dibelakang, panjang sampai lebih dari
setengah bilah, tanpa ricikan apa apa, beberapa jenis dapur cengkrong ada
yang luk 3, 5, 7, luk terletak diujung keris, dulu banyak dimiliki oleh alim
ulama.
CENDANA MINYAK, untuk meminyaki keris, karena mudah menguap dan terlalu
kental maka dicampur minyak klentik atau minyak mesin.
CEPLOK BANTENG, PELET, pelet kayu timoho yang bintik bintik besar rapat satu
sama lainnya, kadang bersinggungan dan menyebar diseluruh permukaan kayu
wrangka. Tuahnya baik untuk kewibawaan.
CEPLOK KELOR, PELET, pelet kayu timoho, bulatan bulatan sebesar daun kelor
agak lonjong, menyeluruh di wrangka, tuahnya dapat menawarkan ilmu jahat.
CINCIN KERIS, lihat Mendak,
CITRO, salah satu dapur tombak luk 13 mempunyai semacam kembang
kacang, dua lambe gajah ditepi bilah menghadap kebawah didekat bagian mentuk,
selain itu memakai ada-ada tipis disepanjang bilah, kebanyakan buatan
Mataram.
COCOR, bagian paling depan dari ganja dan merupakan bagian
ujung dari sirah cicak. Cocor ada yang tumpul ada yang runcing, kadang
disebut cucuk.
CONDONG CAMPUR, salah satu dapur keris lurus, panjang bilah sedang
dengan kembang kacang, lambe gajah satu, sogokan hanya satu didepan dan
ukuran panjang sampai ujung bilah, sogokan belakang tidak ada, selain itu
juga memakai gusen dan lis-lisan.
CUNDRIK, salah satu dapur keris lurus berukuran kecil sekitar
sejengkal bilahnya umumnya agak tebal dan membungkuk, gandik terletak
dibelakang berukuran panjang dan terdapat kruwingan yang jelas dan tegas,
sepintas seperti keris Cengkrong.
CUNDUK UKEL, keris yang diberikan mertua kepada menantu nya sebagai
ikatan keluarganya, biasanya sebelum diberikan ke menantu terlebih dahulu
diberikan kepada anak perempuannya. Bila suatu saat mereka bercerai maka
keris itu dikembalikan kepada anak perempuan tersebut.
CURIGA, kata lain dari keris yang lebih halus dan sopan.
DADUNG MUNTIR, pamor yang hampir mirip pamor Sada Saler, bedanya garis
yang menjulur sepanjamg bilah tidak berbentuk garis biasa tetapi lukisan
pamor yang mirip dengan pintalan tambang atau pintalan tali. Tuahnya menambah
kewibawaan dan keberanian serta keteguhan hati, tergolong pamor rekan dan
banyak terdapat pada keris dan tombak buatan Madura, termasuk pamor
pemilih, tidak setiap orang bisa cocok.
DAMAR MURUB, lihat URUBING DILAH.
DAN RIRIS, lihat PANDAN IRIS.
DANUWARSA, KANGJENG KYAI, keris pusaka Kraton Yogyakarta berdapur Jalak Sangu
Tumpeng, warangkanya dari kayu trembalo, pendoknya dari suasa, merupakan
putran dari KKA KOPEK, buatan Empu Supo dibuat jaman HAMENGKU
BUWONO V.
DAPUR, adalah penamaan ragam bentuk atau tipe keris, sesuai
dengan ricikan yang terdapat pada keris itu dan jumlah luk nya. Penamaan
dapur keris ada patokannya, ada pembakuannya. Dalam dunia perkerisan, patokan
dan pembakuan ini biasanya disebut pakem dapur keris.
DARADASIH, nama salah satu dapur tombak luk 5, ditengah bilahnya
memakai ada-ada yang ukurannya besar dan tebal sehingga terlihat jelas,
bilahnya tebal dan ditepinya ada gusen serta lis-lisan, sisi bilah bagian
bawah tombak ini berbentuk menyudut. Ricikan lainnya tidak ada.
DARADASIH MENGGAH, salah satu dapur tombak luk 5, pada luk pertama terdapat
pudak sategal, serta kruwingan dibagian sor-soran, permukaan bilah pada
separuh bagian atas cenderung datar tetapi bagian bawah berbentuk ngadal
meteng. Sisi bilah yang menghadap terdapat semacam kembang kacang dan dua
lambe gajah yang kecil kecil ukurannya.
DEDER, bagian hulu keris terbuat dari kayu untuk pegangan keris
itu, bentuk deder itu ada ratusan, tiap daerah punya ciri sendiri, di
Yogyakarta dan surakarta disebut juga ukiran. Kayunya biasanya dipilih yang
gampang diukir tetapi harus keras dan punya urat yang indah, kayu yang
dianggap baik di Jawa adalah kayu Tayuman sedang di Malaysia,
Riau, Brunei adalah kayu kemuning.
DELING, PAMOR, nama lain dari Akhodiat di Madura, kalau menyebar dibilah
keris disebut Delung Settong, kalau mengumpul diujung bilah disebut
Deling Pucuk dan kalau dibagian pesi disebut Deling Paksi.
DEWADARU, PELET, nama gambar pada warangka yang berupa garis garis tipis
dan tebal berwarna hitam atau coklat tua berjajar dari atas kebawah atau
miring, tuahnya bisa mendapat keberuntungan, karena indahnya maka timoho
pelet dewadaru banyak dicari orang.
DORA MENGGALA, salah satu dapur tombak luk 5, memakai pudak sategal dan kruwingan
, bilah bagian bwah sor-soran agal tebal, tetapi mulai tengah bilah sampai
ujung tipis dan datar. Pada sisi bilah uang menghadap kebawah terdapat bentuk
yang menyerupai kembang kacang dan satu lambe gajah berukuran kecil.
DORENG PELET, gamvaran warangka kayu timoho berupa jurai jurai
berwarna hitam atau coklat pada permukaan kayu, sepintas mirip kulit harimau,
gambaran ini selain di kayu timoho juga ada pada kayu cendana dan kayu yang
lain.
DRAJIT, nama keris luk 21, tergolong kalawija, ukuran kerisnya
sedikit lebih panjang daripada keris bukan kalawija. Mempunyai kembang
kacang, lambe gajah dua dan sraweyan. Tergolong keris langka dan buatan lama.
DUNGKUL, lihat WUNGKUL.
DUWUNG, padanan kata keris, dianggap lebih halus dan biasa
digunakan oleh priyayi Jawa.
DWISULA, tombak bercabang dua, ada yang lurus dan ada yang ber luk
3, 5 atau lebih, tidak terlalu populer dibandingkan tombak Trisula,
kegunaannya lebih sebagai tombak pusaka yang tidak dipakai secara langsung
dalam pertempuran, biasanya dibuat indah bahkan ada yang diberi kinatah.
EKSOTERI KERIS, ilmu mengenai keris yang tampak dari luar dan
merupakan lawan dari esoteri keris.
ENDAS BAJA, pamor yang menurut banyak orang bertuah buruk, katanya
pemiliknya akan sering mendapat musibah karena ulahnya sendiri. Apa yang
dilakukan serba salah, sebaiknya dibuang atau dilarung , pamornya selalu
terdapat pada bagian sor-soran.
ENTO-ENTO, atau ngento-ento merupakan nama
desa di Sleman yang pada masa silam merupakan tempat Empu Supo Winangun.
Menurunkan Empu Jeno Harumbrojo dan Empu Genyo.
ENTO WAYANG, Empu yang hidup zaman Kartasura,
anak Empu Supanjang dan leluhur Empu Jeno. Tanda tanda kerisnya tidak
tercatat hanya selalu membuat keris gaya Mataraman.
EPEK, semacam ikat pinggang tradisional dan merupakan
kelengkapan pakaian Jawa, terbuat dari bludru dan kadang dihiah benang emas
atau manik manik, lebar sekitar 6 cm dan panjang sekitar 95 cm sampai 140 cm.
Sebuah epek baru dapat dikenakan bila dilengkapi timang,
semacam kepala ikat pinggang, pada umumnya berwarna dasar hitam, kadang ada
yang berwarna dasar merah, biru atau hijau. Disesuaikan dengan baju
yang dipakai.
ERI CANGKRING, bagian yang menonjol pada sisi
atas ditepi sebuah warangka gaya Surakarta, Yogyakarta, Madura atau Bali,
berbentuk menyudut tajam menonjol sekitar 0.5 cm dan tempatnya sejajar dengan
tengah lobang searah dengan garis pesi keris.
ERI WADER, pamor yang menyerupai tulang ikan, sepintas seperti pamor
Ron Genduru, bedanya lebih kurus dan tergolong pamor miring. Pembuatannya tergolong
sukar dan karena dapat dirancang maka termasuk pamor rekan. Pamor ini
tergolong pemilih dan dipercaya dapat menambah wibawa pemiliknya.
ESOTERI KERIS, ilmu yang memusatkan pada apa yang tidak tampak dari
luar, membicarakan mengenai tuah, tanjeg, tayuh, khasiat, daya magis,
manfaat, pengaruh, penunggu dan semacamnya. Terlepas dari benar atau tidaknya
maka esoteri ini merupakan salah satu budaya per-kerisan dan dibicarakan juga
dinegara lain dan kadang sering dibicarakan dari sudut agama.
GABILAHAN, sebutan orang Madura untuk warangka model Gayaman,
khususnya bergaya Madura.
GADA TAPAN, KANGKENG KYAI, tombak
pusaka Kraton Yogyakarta, berdapur Gada. Kini KK Gada Tapan dan KK
Gada Wahana menjadi dua tombak pendamping pusaka KK Ageng Pleret.
GADA WAHANA, KANGJENG KYAI, puasa
Kraton Jogya, berdapur Gada dengan hiasan sinarasah emas, berasal dari
pemberian pendeta dari Pratiwagung pada Sri Sultan HAMENGKU BUWONO III.
GADING, bahan baku untuk warangka yang banyak jumlahnya,
gading gajah afrika umumnya panjangnya mencapai 2 m dengan berat
rata-rata 21 kg sedang gajah asia beratnya sekitar 19 kg dengan panjang
rata-rata 160 cm saja. Gajah Sumatra gadingnya termasuk paling mahal dengan
warna lebih putih dan keretakan tidak banyak, gajah Thailand agak kekuningan
warna gadingnya dan keretakan agak banyak, sedang gajah Afrika banyak retak
gadingnya. Sebagian pecinta keris menolak menggunakan warangka gading ini
karena kekerasannya dapat membuat aus bilah keris dan merusak pamor, itulah
sebabnya keris pusaka tidak ada yang diberi warangka gading.
GAJAH MANGLAR, KANGJENG KYAI, keris
pusaka Kraton Yogyakarta, berdapur Gajah Manglar, warangka dari kayu Timoho,
pendoknya dari emas bertahtakan intan berlian. Semula milik Sri Sultan
HAMENGKU BUWONO I, diserahkan kepada putranya Pangeran Demang dan pada zaman
Sultan HAMENGKU BUWONO V kembali ke Kraton.
GAJAH SINGA, nama salah satu jenis hiasan kinatah yang ditempatkan
bagian bawah ganja. Permukaan yang tidak tertutup hiasan gajah singa dihiasi
ornamen hiasan lain. Kinatah gajah singa diberikan karena keris tersebut
telah berjasa membantu pemiliknya, terjadi pada pemerintahan Sultan Agung
Anyokrokusumo. waktu itu didaerah Pati, Jawa Tengah bagian utara, terjadi
pemberontakan yang dipimpin Adipati Pragola, sesudah pemberontakan berhasil
dipadamkan maka Raja Mataram memberikan tanda kehormatan Kinatah Gajah Singa
pada prajuritnya.
Semua keris para prajurit sampai
perwira dikumpulkan dan diberi hiasan kinatah Gajah Singa kemudian
dikembalikan lagi kepada yang punya, ini untuk peringatan Mataram memadamkan
pemberontakan Pati karena Gajah Singa artinya perlambang angka tahun sesuai
dengan candra sengkala, Gajah melambangkan angka 8 sedangkan Singa angka 5,
curiga (keris) angka 5 dan tunggal melambangkan angka 1 dan karena candra
sengkala (lambang angka tahun) selalu dibaca dari belakang maka yang dimaksud
adalah 1558 kalender Jawa. Walau penghargaan kinatah Gajah Singa diberikan
pada zaman Mataram tetapi ada juga keris buatan Majapahit, Tuban, Jenggala
dan Singasari menggunakan hiasan itu.
GANA KIKIK, salah satu dapur keris lurus yang panjang bilahnya
berukuran sedang, keris ini memakai gusen, ada-adanya tebal dan nyata, gandik
keris ini diukir dengan bentuk srigala sedang melolong, kaki depan tegak
sedang kaki belakang ditekuk. Ada yang menyebutnya dapur Kikik saja atau Naga
Kikik, dapur ini tergolong populer dan banyak penggemarnya karena indah
bentuknya dan tinggi mutunya.
GANDAR, adalah salah satu bagian dari warangka keris, dibuat dari
kayu yang tidak terlalu kerasbentuknya bulat panjang dan pipih, kegunaannya
untuk melindungi bilah keris, banyak gandar dilapisi selongsong logam berukir
indah dan disebut pendok.
GANDAR IRAS, warangka yang menyatu dengan gandar , jadi seluruhnya dibuat
dari satu bongkah kayu tanpa sambungan apapun. Warangka Gandar Iras selalu
lebih mahal dari warangka biasa karena bahan kayu yang utuh dan cukup untuk
membuat warangka ini sulit dicari dan banyak bahan terbuang dalam proses
pembuatannya.
GANDAWISESA, KANGJENG KYAI, keris pusaka Kraton Yogyakarta, berdapur Naga Siluman,
warangka dari kayu Trembalo dan pendok bertahta rajawarna. Keris ini
buatan Penembahan Mangkurat dizaman pemerintahan Sri Sultan HAMENGKU BUWONO
V.
GANDIK, adalah bagian “raut muka” dari sebilah
keris. Ada gandik polos, ada yang dilengkapi racikan lain. Letaknya tepat
diatas sirah cecak. Bagian gandik ini hampir selalu berada dibagian depan
keris, hanya pada beberapa dapur keris antara lain dapur “cengkrong”
yang letaknya dibelakang dari bilah keris. Kata “gandik” dalam
bahasa Jawa berarti batu penggilas yang bentuknya bulat panjang. Ukuran dan ketebalannya bermacam-macam.
GANJA, bagian bawah dari sebilah keris, seolah-olah merupakan
alas atau dasar keris tersebut, pada bagian tengahnya ada lobang untuk
memasukan bagian pesi. Bagian bilah dan bagian ganja dari sebilah keris
merupakan kesatuan yang tak terpisahkan melambangkan kesatuan lingga
dan yoni, ganja mewakili lambang yoni sedang bilahnya melambangkan
lingga. Bentuknya sepintas mirip buntut cecak tanpa kaki, bagian depanya
mirip kepala cecak disebut sirah cecak, begitu pula bagian perut dan ekornya
, bagian “perut” ganja disebut Wetengan atau Gendok, sedang
bagian “ekor” disebut buntut cecak. Ragam bentuk ganja ada beberapa macam, ganja Sebit
Ron Tal, Wulung, Wilut, Dungkul, Kelap Lintah. Disemenanjung
Melayu, Brunei, Serawak dan Sabah serta Riau disebut juga Aring, namun sering
disebut ganja saja.
GANJA WULUNG, Ganja yang tidak berpamor,
banyak pendapat emngapa kerisnya berpamor bagus sedangkan ganjanya tidak
berpamor. Pertama, keris itu adalah keris yang bagus kemudian dibuatkan
putran-nya (duplikat), bagian ganja keris yang bagus itu dilepas lalu
dijadikan campuran bahan baku pembuatan keris duplikat, sedangkan keris
aslinya dibuatkan ganja wulung. Kedua, pada jaman dulu banyak orang yang
memahami ilmu keris terutama isoterinya, dengan hanya melihat bagian ganjanya
yang tampak orang akan menduga keris itu berdapur apa, pamornya apa, dan apa
tuahnya dengan demikian apabila orang tersebut telah tertebak apa tuah
kerisnya dia merasa seperti “ditelanjangi” sehingga untuk menutupinya dia
memesan ganja wulung. Ketiga karena ganjanya rusak dan diganti.
GANDRUNG, PELET, gambaran pada warangka kayu
Timoho berupa bulatan besar tidak teratur dipermukaan, selain indah
bertuah baik dan disenangi orang sekeliling, banyak dicari oleh Dalang.
GAYAMAN, nama salah satu bentuk warangka didaerah Surakarta
dan Yogyakarta, mirip bentuk buah gayam, makanya disebut gayaman.
Bentuk gayaman Yogyakarta agak beda dengan gayaman Surakarta, begitu pula
gayaman Madura (gabilahan), warangka ini paling banyak dipakai orang
karena lebih sederhana , ringkas ukurannya dan tidak mudah patah dan umum
digunakan sehari-hari sebagai kelengkapan pakaian daerah.
GEDONG PUSAKA, bangunan khusus di keratom tempat
penyimpan pusaka, hanya petugas khusus dan kerabat raja tertentu yang boleh
masuk.
GENDOK, atau wetengan atau waduk adalah nama bagian tengah
ganja, bentuknya menggembung bagaikan perut kenyang. Ditengah bagian gendok terdapat lubang untuk memasukan
pesi. Sebagian orang menyebutnya wadukan.
GENYODIHARDJO, pandai keris dari Yogyakarta, kakak empu Jeno walau
garapannya masih kalah dari empu Genyo.
GIRIREJO, KANGJENG KYAI, keris pusaka Kraton Yogyakarta, berdapur Carita luk 11,
warangka dari kayu Timoho, pendok dari pendok slorok terbuat dari
suasa, sedang seloroknya dari emas murni. Keris ini dibeli Sri Sultan
HAMENGKU BUWONO V dari abdi dalem bernama Bekel Wasadikara.
GRENENG, salah satu bagian keris yang merupakan
bagian tepi dari punggung keris sebelah pangkal, bagian tepi bilah ini
bentuknya menyerupai gerigi dengan ujung-ujung runcing. Bentuk variasi dari
gerigi ini berbeda dari daerah satu ke yang lain tetapi bentuk dasarnya sama.
Ada yang mengatakan bahwa bentuk greneng merupakan tandatangan sang empu
karena setiap empu terutama bagian Ron Da selalu berbeda satu dengan
lainnya.
GODONG ANDONG, salah satu dapur tombak bilah
lurus dan bilahnya simetris, bentuknya mirip gadong andong, ditengah memakai
ada-ada dari pangkal hingga ujung bilah, ricikan lain tidak ada , dapur ini
banyak terdapat pada tombak kuno terutama buatan zaman Pajajaran dan Segaluh.
GODONG DADAP, salah satu dapur tombak lurus
seperti daun dadap, lebar, simetris dan tipis. Ditengah bilah dari bawah
sampai atas memakai ada-ada tipis, ricikannya yang lain tidak ada. Biasanya tombak ini berukuran kecil kadang disebut dapur Ron
Dadap.
GODONG SEDAH, salah satu dapur tombak lurus berukuran kecil, menyerupai
daun sirih, lebar ditengah pipih, simetris dan tipis, bagian tengah dari
bawah ke ujung terdapat ada-ada, biasa disebut Ron Sedah.
GODONG PRING, salah satu dapur tombak lurus seperti daun bamby,
simetris kiri dan kanan, bilahnya tipis, hampir tak ada ada-ada, pada bagian
bawah ada lekukan landai yang berbentuk semacam pinggang, pamor ini tergolong
populer dan banyak dijumpai.
GOLOK, salah satu jenis pedang sabet dan berat bobotnya,
bentuknya agak beragam umumnya berbentuk lameng pendek bagian
punggungnya cembung pada ujungnya, sedang bagian depannya lurus. Yang
tajam hanya sisi depannya.
GOTHITE, mineral besi terdiri dari trioksida besi yang terikat air
berwarna kekuningan, merah dan kecoklatan, rumus kimianya Fe2O3.H2O. besi ini
kurang baik untuk bahan keris karena mudah keropos dan berpori.
GUMBOLO GENI, pamor yang menyerupai binatang kala atau ketonggeng
dengan ekor mencuat keatas, pamor ini tergolong baik untuk menolak
sesuatu yang tidak dikehendaki dan tergolong pemilih. Pamor ini
selalu terletak di sor-soran.
GULING, EMPU, empu terkenal di zaman Mataram. Karya karyanya demikian
indah. Tanda tandanya adalah, ukuran bilah lebih besar dari rata rata buatan
Majapahit tapi lebih ramping, ganjanya melengkung, gulu melednya sempit sirah
cecak berbentuk lonjong dan meruncing pada ujungnya, buntut urangnya
berbentuk nguceng mati dan tidak pakai tunggakan, banyak keris karya Ki Empu
Guling memakai Ganja Wulung.
Besi yang dipakai 2 rupa, yaitu
hitam keabu-abuan dibagian tengah dan hitam legam dibagian pinggir bilah.
Pamornya rumit dan halus, lembut dan padat. Penampilan keris secara
keseluruhan memberi kesan gagah, berwibawa dan anggun. Kalau membuat kembang
kacang bentuknya melingkar sekali, jalennya pendek tapi lambe gajahnya
menonjol panjang. Sogokannya dangkal tapi panjang, janurnya berbentuk mirip
lidi, terus tetap kecil sampai kebawah. Kalau membuat bagian Dha pada Ron
Dha, lekukannya tergolong dangkal . jika tidak memakai kembang kacang maka
gandiknya agak panjang dan tidak begitu miring.
GULU MELED, salah satu bagian dari ganja yang letaknya dibelakang
sirah cecak, dibagian gulu meled ini, ukuran ganjanya menyempit dibandingkan
dengan bagian depannya. Jadi mirip bagian leher seekor cicak.
GUNAWISESA, KANGJENG KYAI, pusaka Keraton Yogyakarta, berdapur Carita dengan bagian
ganja bertahtakan intan. Warangkanya dari kayu Timoho dengan pendok emas
rajawarna. Keris ini buatan empu keraton pada jaman pemerintahan Sri Sultan
HAMENGKU BUWONO V.
GUNUNGAN, nama salah satu dapur tombak yang bentuknya menyerupai
gunungan wayang kulit. Tombak ini umumnya menyerupai gunungan wayang kulit,
berbilah tipis dan lebar, selain ada-ada pada bagian sor-soran tombak ini
tidak punya ricikan apapun.
GUTUK API, KANGJENG KYAI, keris pusaka keraton Yogyakarta, berdapur Jalak,
warangkanya dari kayu Timaha, pendoknya jenis blewahan terbuat dari emas
bertahtakan intan permata raja warna. semula milik Sri Sultan HAMENGKU BUWONO
I diberikan ke Pangeran Adinegara, putranya, selanjutnya jatuh ketangan
Temenggung Mertadiningrat dan dikembalikan ke keraton pada mas Sri Sultan
HAMENGKU BUWONO V.
GUSEN, adalah daerah sempit sepanjang tepi bilah keris atau
tombak, daerah sempit itu yang dibatasi oleh tepi bilah yang tajam dengan
garis lis-lisan.
GUNA, KYAI, empu terkenal yang hidup dijaman penjajahan Belanda,
tinggal di Magetan, Madiun. Kerisnya berukuran panjang dan besar dan pada
umumnya berdapur lurus. Karena dari bahan baja maka keris Kyai Guna terkenal
amat kuat dan dapat melubangi kepingan logam, sampai saat ini keris buatan
Kyai Guna masih populer didaerah Madiun dan Ponorogo dan sekitarnya. Banyak
diantaranya tidak memakai bahan pamor, orang Madiun dan Jawa Timur
menyebutnya keris pamor waja.
HARJAMULYA, KANGJENG KYAI, salah satu keris pusaka Kraton Yogyakarta berdapur
Cengkrong, warangka dari kayu Timoho, pendok blewahan terbuat dari emas,
dengan ukiran bahan gading. Keris ini didapat Sri Sultan Hamengku Buwono II
dari “Kangjeng Gubermen” sewaktu Sultan ditawan di Penang.
HULU PEKAKAK, nama hulu keris terkenal disemenanjung Malaka, Riau,
Jambi, Serawak, Brunei dan Sabah, terbuat dari kayu keras, gading atau perak.
Bentuknya menyerupai kepala raksasa dengan mata besar dan hidung panjang yang
distilir. Dipulau Jawa bentuk ini dijumpai juga didaerah Surakarta dan
disebut Rajamala.
HULU BURUNG, nama salah satu jenis hulu keris berbentuk burung,
bentuk ini sudah jarang dipakai namun dulu banyak dibuat orang di Jambi,
Bangkinang, Riau dan Semenanjung Melayu serta Pathani (Thailand Selatan),
terbuat dari bahan kayu yang keras, gading atau gigi ikan duyung, bahkan ada
pula yang dari perak.
YASADIPURA II, pujangga terkenal Kraton Solo.
Tahun 1814 beliau menulis Serat Centini bersama RM Ranggasutrasna
dan RM Sastrodipura, membahas mengenai Pakem Keris dan Tombak
Jawa dibawah koordinasi Paku Buwono V, pekerjaan ini selesai tahun 1823.
YOGAPATI, pamor yang oleh banyak penggemar
keris dianggap buruk, pemiliknya akan sering dirundung malang, sehingga
sebaiknya dilarung atau diserahkan ke Museum saja, pamor ini terletak di
sor-soran dan tergolong pamor Tiban.
YONI, semacam daya atau kekuatan gaib yang menurut ahli
esoteri dianggap sebagai kekuatan yang ada pada tuah keris. Ini
menunjukan ketinggian ilmu empu yang membuat.
YUYU RUMPUNG, salah satu dapur keris lurus, ada 2 versi mengenai keris
berdapur ini, yang pertama, bilahnya berukuran sedang, gandiknya panjang dan
diatas gandik ada kembang kacangnya berukuran kecil. Yang kedua gandiknya
berada dibelakang, panjang, bilahnya agak membungkuk, ganjanya kelap lintah.
Biasanya dimiliki petani dan mempunyai tuah membantu menangkal serangan hama
dan menyuburkan tanaman.
YASADIPURA II, pujangga terkenal Kraton Solo. Tahun 1814 beliau menulis
Serat Centini bersama RM Ranggasutrasna dan RM
Sastrodipura, membahas mengenai Pakem Keris dan Tombak Jawa dibawah
koordinasi Paku Buwono V, pekerjaan ini selesai tahun 1823.
YOGAPATI, pamor yang oleh banyak penggemar keris dianggap buruk,
pemiliknya akan sering dirundung malang, sehingga sebaiknya dilarung atau
diserahkan ke Museum saja, pamor ini terletak di sor-soran dan tergolong pamor
Tiban.
YONI, semacam daya atau kekuatan gaib yang menurut ahli
esoteri dianggap sebagai kekuatan yang ada pada tuah keris. Ini
menunjukan ketinggian ilmu empu yang membuat.
YUYU RUMPUNG, salah satu dapur keris lurus, ada 2 versi mengenai keris
berdapur ini, yang pertama, bilahnya berukuran sedang, gandiknya panjang dan
diatas gandik ada kembang kacangnya berukuran kecil. Yang kedua gandiknya
berada dibelakang, panjang, bilahnya agak membungkuk, ganjanya kelap lintah.
Biasanya dimiliki petani dan mempunyai tuah membantu menangkal serangan hama
dan menyuburkan tanaman.
NABI SULAIMAN, nama pamor yang letaknya didaerah sor-soran, merupakan
pamor titipan, pamor yang dibentuk kemudian setelah bilah keris selesai
dikerjakan. Bentuk pamor menyerupai bintang segi enam, tuahnya baik terutama
dalam keadaan darurat tetapi pamor ini pemilih dan katanya hanya raja atau
keturunannya yang bisa memilikinya.
NAGA GAJAH, keris luk 7, gandik keris diukir kepala gajah lengkap
dengan telinga dan belalai tetapi tanpa badan. Ricikan lain adalah sraweyan,
ri pandan dan greneng. Kadang memakai gusen, selain itu tak ada ricikan
lain. Keris ini tergolong langka, seandainya ada kemungkinan bikinan baru
atau tangguh muda, adapun pecinta keris menyebutnya Naga Liman.
PARA EMPU
EMPU
PANGERAN SEDAYU
Menurut cerita rakyat, di masa mudanya bernama Supa Mandrangi. Karena ketekunannya, ia menjadi empu yang mahir. Keris-keris buatannya selalu indah dan disukai banyak orang. Karena itu Supa Mandrangi dan adiknya yang bernama Supagati berniat untuk mengabdi pada Keraton Majapahit.
Kebetulan sewaktu ia datang ke
keraton, saat itu Majapahit sedang geger. Pusaka kerajaan yang bernama
Kanjeng Kyai Sumelang Gandring hilang dari tempat penyimpanannya di Gedong
Pusaka. Ki Supa Mandrangi lalu dipanggil menghadap raja. Sang Raja bertitah,
jika Empu Supa sanggup menemukan kembali keris Kanjeng Kyai Sumelang
Gandring, maka raja akan berkenan menerima pengabdiannya di Keraton
Majapahit, dan akan dianugerahi berbagai macam hadiah.
Ki Supa menyatakan kesanggupannya.
Setelah memohon petunjuk Tuhan, empu
muda itu bersama adiknya berjalan ke arah timur, sesuai dengan firasat yang
diterimanya. Selama dalam perjalanan Ki Supa menggunakan nama Empu Rambang.
Nama ‘rambang’ berasal dari kata ‘ngelambrang’ yang artinya berjalan
tanpa tujuan yang pasti. Beberapa bulan kemudian sampailai ia di Kadipaten
Blambangan. (Sumber lain menyebutkan, sebelum Ki Supa alias Ki Rambang sampai
di Blambangan, lebih dulu ia mampir ke Madura untuk menuntut ilmu pada empu
Ki Kasa. Tetapi sumber yang lain lagi mengatakan bahwa Ki Kasa juga merupakan
nama samaran atau nama alias Ki Supa).
Di Kadipaten Blambangan, lebih dahulu
Ki Supa Mandrangi menjumpai Ki Luwuk, empu senior yang menjadi kesayangan
Sang Adipati Menak Dadali Putih. Berkat jasa baik Ki Luwuk, akhirnya Ki Supa
bisa diterima menghadap adipati itu. Pada saat itu Ki Supa mengaku bernama
Pitrang, dan menyatakan ingin mengabdi pada Sang Adipati.
Ketika beberapa waktu kemudian
Adipati Blambangan tahu hasil kerjanya, ia menyuruh Ki Pitrang membuat putran
(duplikat) sebilah keris lurus yang indah. Setelah mengamati keris yang harus
dibuatkan duplikatnya itu, Ki Pitrang segera tahu bahwa itulah keris Kanjeng
Kyai Sumelang Gandring yang hilang dari Kerajaan Majapahit.
Ki Pitrang alias Ki Supa menyanggupi
membuat putran keris itu dalam waktu 40 hari, dengan satu syarat,
yaitu agar selama ia membuat keris putran itu, tidak seorang pun boleh
memasuki besalen -nya. Adipati Blambangan menyanggupi syarat itu,
bahkan ia akan menempatkan beberapa prajurit di sekitar besalen empu
Pitrang, agar jangan ada orang yang masuk mengganggu kerjanya.
Di besalen-nya, Ki Supa
bekerja hanya dibantu oleh adiknya, Ki Supagati, yang bertindak sebagai panjak-nya.
Dalam waktu 40 hari itu Ki Supa bukan membuat sebilah, melainkan dua bilah
keris putran, yang bentuk dan rupanya sama benar dengan keris Kanjeng
Kyai Sumelang Gandring.
Setelah pekerjaan itu selesai, KK
Sumelang Gandring yang aseli disembunyikan di balik kain di paha kirinya.
Sedangkan kedua keris putran yang dibuatnya dibahwa menghadap Adipati
Blambangan, dan diakukan sebagai keris yang putran dan yang aseli.
Karena sama bagusnya, sama indahnya,
Adipati Blambangan tidak bisa lagi membedakan kedua keris itu. Mana yang
aseli, dan mana yang putran. Padahal sebenarnya kedua keris itu
merupakan keris putran.
Adipati Dadali Putih amat gembira
melihat hasil karya Empu Pitrang. Karenanya, empu muda itu lalu dinikahkan
dengan salah seorang adik perempuannya, dan diberi banyak hadiah.
Beberapa bulan kemudian Empu Pitrang
berpamitan hendak pulang ke Majapahit. Ia berpesan pada istrinya yang sudah
hamil, agar jika anaknya lahir kelak, jika laki-laki, agar diberi nama Jaka
Sura. Setelah cukup besar, agar anak itu disuruh menyusulnya ke Majapahit.
(Baca juga Jaka Sura, Empu).
Betapa gembira Raja Majapahit ketika
ternyata Ki Supa berhasil menemukan dan mengembalikan keris pusaka keraton,
Kanjeng Kyai Sumelang Gandring. Karena dianggap berjasa besar bagi kerajaan,
Empu Ki Supa Mandrangi kemudian dinikahkan dengan salah seorang putrinya dan
diangkat menjadi pangeran, serta diberi tanah perdikan (bebas pajak, otonom)
di daerah Sedayu. Maka sejak itu Ki Supa lebih dikenal sebagai Empu Pangeran
Sedayu. Itu pula sebabnya, mengapa keris buatan Ki Supa hampir serupa dengan
keris buatan Pangeran Sedayu.
Walaupun telah hidup mulia sebagai
pangeran dan kaya raya berkat kedududkannya sebagai penguasa tanah perdikan,
Pangeran Sedayu masih tetap membuat keris. Bahkan keris buatannya makin
indah, makin anggun.
Adapun keris buatan Pangeran Sedayu
dapat ditandai dengan mengamati ciri-ciri sebagai berikut:
Ganjanya datar atau ganja wuwung,
gulu meled-nya berukuran sedang, tetapi penampilannya memberi kesan kekar
dan kokoh. Buntut cecak-nya berbentuk ambuntut urang atau mekrok.
Jika membuat keris luk, maka loknya tergolong luk yang rengkol, atau sarpa
lumampah.
Posisi bilah pada ganja agak
tunduk, tidak berkesan galak, tetapi anggun berwibawa. Kembang kacang-nya
dibuat ramping nggelung wayang. Sogokan-nya agak melengkung di
bagian ujung, menyerupai paruh burung. Janur-nya serupa lidi. Tikel
alis-nya tergurat jelas. Begitu pula ron da-nya juga dibuat jelas.
Keris buatan Pangeran Sedayu selalu
matang tempaan, besinya berwarna hitam kebiruan, nyabak, dan berkesan
basah. Pamornya lumer pandes dan hampir selalu merupakan pamor
tiban. Bahkan terkadang tanpa pamor sama sekali, yakni yang disebut keris
kelengan. Besi keris tangguh Pangeran Sedayu ini demikian
prima, tahan karat, bahkan banyak di antaranya cukup diwarangi lima tahun
sekali.
Secara keseluruhan penampilan keris
buatan Pangeran Sedayu membawakan karakter seorang ksatria yang anggun,
berwibawa, tetapi tidak galak, wingit, tetapi menyenangkan.
Pendek kata, segalanya dibuat serasi.
Seluruh bagian keris termasuk ricikan-nya digarap dengan cermat, rapi,
ayu, dan sempurna. Begitu rapinya keris buatan Pangeran Sedayu, sampai sampai
tepi bagian sogokan-nya berkesan tajam. Oleh kebanyakan pecinta keris,
buatan Pangeran Sedayu dianggap sebagai keris yang paling sempurna dari semua
keris yang ada.
Salah satu tanda yang mencolok dari
keris buatan Empu Pangeran Sedayu adalah besinya yang selalu merupakan jenis
pilihan, dan matang wasuhan.
Selain tetap berkarya sebagai empu,
Pangeran Sedayu juga mendidik orang-orang di daerahnya yang berminat belajar
menjadi empu. Mula-mula mereka dijadikan panjak, dan setelah mahir
disuruh membuat keris sendiri. Akhirnya para panjak itu pun dapat
mandiri bekerja sebagai empu. Hasil karya mereka oleh orang yang hidup masa
kini disebut keris Panjak Sedayu, yang kualitasnya hampir menyamai
keris buatan Pangeran Sedayu.
JAKA SURA
Disebut pula Empu Adipati Jenu, sebuah wilayah dekat Jipang di daerah perbatasan Jawa Tengah dengan Jawa Timur. Ia diperkirakan hidup menjelang akhir zaman Majapahit.
Keris buatannya dapat ditandai dengan
memperhatikan ciri-ciri sebagai berikut :
Ganjanya rata, gulu meled-nya
sempit, sirah cecak-nya lonjong. Kalalu membuat kembang kacang
bentuknya kokoh bagaikan kuku bima, blumbangan-nya dalam, guratan tikel
alis-nya jelas, sogokan-nya panjang, janurnya meruncing di
ujungnya. Kalau Empu Jaka Sura membuat ron da, bentuknya jelas dan
runcing ujungnya.
Bilah keris buatan Empu Jaka Sura
agak tebal, penampilannya meyakinkan. Kalau membuat pamor ruwet (muyeg
- Bhs. Jawa). Secara keseluruhan keris buatan Empu Jaka Sura menampilkan
karakter berwibawa, terampil, gagah, dan meyakinkan.
Kakak Jaka Supa
Jaka Sura sesungguhnya adalah kakak
tiri Empu Jaka Supa, sedangkan ayahnya bernama Supa Mandrangi yang kemudian
dikenal sebagai Pangeran Sedayu. Ia lahir di Blambangan, ibunya adalah putri
bangsawan kerabat Adipati Blambangan.
Ketika menjelang remaja, Jaka Sura
bertanya pada ibunya, siapa dan dimana ayahnya. Si ibu mengatakan, ayah Jaka
Sura adalah seorang empu yang pernah mengabdi pada Kadipaten Blambangan.
Sebelum Jaka Sura lahir, sang Ayah harus kembali ke Majapahit. Sebelum pergi
sang Ayah berpesan, agar jika anak yang lahir nanti laki-laki, diberi nama
Jaka Sura. Dan, kalau anak itu sudah dewasa, agar pergi menyusulnya ke
Majapahit.
Sesudah mendengar penjelasan dari
ibunya, Jaka Sura lalu belajar membuat keris. Ia banyak sekali membuat keris sajen
- yang biasanya dibutuhkan oleh para petani masa itu untuk sesaji sawahnya. Keris
sajen dalam jumlah besar itulah yang dibawanya sebagai bekal
perjalanan ke Majapahit. Agar lebih mudah membawanya, keris sajen yang
ukurannya cuma sejengkal itu dilubangi pesi-nya, seperti lubang jarum
jahit tangan. Pada lubang itu dimasukkan tali. Cara ini, menurut bahasa Jawa
disebut direntengi.
Sepanjang perjalanan dari Blambangan
ke Majapahit, ia banyak bertanya pada petani yang dijumpainya, manakah arah
jalan menuju Majapahit. Sebagai terima kasih atas bantuannya menunjukkan
arah, ia menghadiahkan keris sajen buatannya pada para petani itu.
Dulu, para petani umumnya percaya,
tuah keris sajen karya Empu Jaka Sura ini berkhasiat untuk menyuburkan
tanaman dan menangkal serangan hama tanaman. Bahkan sampai sekarang (akhir
abad ke-20) sebagian petani di Jawa Tengah dan Jawa Timur masih mempercayai
hal tersebut.
Menjelang sampai di Ibukota
Majapahit, Jaka Sura menghentikan perjalanannya untuk membuat sebilah pedang.
Rencananya pedang itu akan dijadikan buah tangan untuk ayahnya, agar ayahnya
tahu bahwa ia juga mewarisi bakat menjadi empu.
Sesampainya di Majapahit Jaka Sura
ternyata ditolak ketika hendak masuk ke keraton. Penjelasan yang diberikan
oleh empu muda itu tidak dihiraukan oleh para prajurit penjaga pintu gerbang.
Karena kesal Jaka Sura lalu menghantamkan pedang buatannya pada pintu gerbang
itu sehingga pecah berantakan. Keributan itu menyebabkan Raja Majapahit
keluar dan menanyakan apa yang terjadi.
Sesudah mendengar laporan dari
prajurit penjaga dan juga dari Jakasura, raja itu memberi tahu bahwa ayahnya
telah diangkat menjadi Pangeran, dan tinggal di daerah Sedayu. Setelah
mendapat penjelasan itu Jaka Sura lalu mohon diri dan segera berangkat ke
Sedayu. Sang Raja juga menugasi Empu Salahita sebagai penunjuk jalan.
Pedang yang ditinggalkan Jaka Sura
kemudian dijadikan pusaka Kerajaan Majapahit, dan diberi nama Kanjeng Kyai
Lawang. Kata lawang artinya pintu, karena mengingat bahwa kesaktian
pedang itu telah menghancurkan pintu gerbang Majapahit. Kini, Kyai Lawang
menjadi salah satu pusaka Keraton Kasunanan Surakarta.
Sesampainya di Sedayu, Empu Salahita
langsung membawa Jaka Sura ke besalen (bengkel kerja) milik Pangeran
Sedayu, bukan ke rumahnya, karena mengira sang pangeran sedang berada di besalen-nya.
Waktu itu di besalen itu para panjak sedang ramai bekerja di bawah
pimpinan Empu Ki Jebat, karena Pangeran Sedayu sedang melakukan tapa brata.
Setelah Jaka Sura diperkenalkan
dengan Ki Jebat, tangan kanan Pangeran Sedayu itu bercerita bahwa sang
pangeran saat itu sedang gundah hatinya. Soalnya, Pangeran Sedayu mendapat
perintah dari raja untuk membuat keris dapur baru yang akan digunakan
sebagai pusaka andalan Majapahit, karena pusaka yang terdahulu, yaitu Kanjeng
Kyai Sumelang Gandring, pernah dicuri oleh Adipati Blambangan.
Sudah berhari-hari Pangeran Sedayu
melakukan tapa brata, tetapi bentuk dapur keris yang baru itu belum
juga terbayangkan.
Setelah mendengar penjelasan Ki
Jebat, Jaka Sura segera mengeluarkan besi sisa peninggalan ayahnya ketika di
Blambangan dulu. Besi sisa itu lalu dibakarnya di perapen, dan kemudian
ditempanya. Tanpa lelah ia terus bekerja, sehingga akhirnya jadilah sebuah
keris dengan dapur baru yang indah. Semua orang yang menyaksikan di besalen
itu kagum.
Ki Jebat lalu bertanya pada Jaka
Sura, dapur apakah keris yang baru dibuatnya itu. Jaka Sura
mengatakan, tidak tahu karena ia hanya bekerja berdasarkan ilham yang muncul
tiba-tiba saat itu. Setelah menyerahkan keris itu pada Ki Jebat, Jaka Sura
lalu pergi ke kali untuk membersihkan diri.
Sementara itu Pangeran Sedayu datang
ke besalen dengan wajah muram. Ia masih merasa sedih karena belum juga
mendapat ilham mengenai dapur keris yang akan dibuat. Saat itulah Ki
Jebat memperlihatkan keris buatan Jaka Sura.
Betapa gembira hati Pangeran Sedayu
melihat keris yang indah itu. Ia bertambah gembira lagi ketika tahu bahwa
yang membuatnya adalah Jaka Sura, anaknya sendiri, yang lahir setelah ia
meninggalkan Blambangan.
Pangeran Sedayu yakin, Sang Raja
tentu akan berkenan menerima keris indah itu sebagai pusaka keraton. Karena
itu ia segera mengajak anaknya menghadap raja di Keraton Majapahit.
Benarlah dugaan Pangeran Sedayu. Raja
amat senang dengan keris itu, tetapi juga bingung ketika Pangeran Sedayu dan
Jaka Sura memintakan nama bagi dapur keris baru itu. Akhirnya, setelah
berpikir sejenak, raja menamakan dapur keris itu: Kanjeng Kyai
Sengkelat.
Nama Sengkelat berasal dari kata ‘sengkel’
yang artinya bingung dan kesal karena kehabisan akal. Saat itu raja Majapahit
memang sedang kehabisan akal untuk mencarikan nama dapur yang
merupakan perpaduan antara keris dapur Carita dengan dapur
Parung itu.
Pangeran Sedayu lalu membawanya
menghadap raja, untuk memohon agar Jaka Sura diperkenankan mengabdi pada
kerajaan. Permohonan dikabulkan, dan karena keris-keris hasil karyanya
memuaskan raja, beberapa tahun kemudian Jaka Sura dianugerahi tanah perdikan,
yaitu tanah bebas pajak, di daerah Jenu. Selain itu Jaka Sura juga diangkat
sebagai adipati di daerah itu. Maka, Jaka Sura kemudian lebih dikenal sebagai
Empu Adipati Jenu.
Banyak penggemar keris yang mengira
bahwa hasil karya Empu Jaka Sura hanya berupa keris sajen. Padahal
keris sajen itu hanyalah keris yang dibuat untuk petani guna keperluan
sesaji sawah mereka.
Empu Ki Jigja
Terkenal sebagai salah seorang empu
pada zaman Kerajaan Majapahit. Ia adalah anak dari Empu Singkir alias Empu
Angga, empu terkenal dari Pajajaran. Adiknya, Ki Empu Surawisesa juga menjadi
empu, tetapi tidak bekerja bagi Kerajaan Majapahit, melainkan untuk Kadipaten
Blambangan. Menurut buku-buku kuno, jari jempol tangan kirinya berwujud
kepala ular.
Keris buatannya tidak banyak, tetapi semuanya merupakan keris indah dan sakti. Tanda-tanda keris buatan Empu Jigja adalah, panjang bilahnya sedang (menurut ukuran rata-rata keris tangguh Majapahit), tetapi menampilkan kesan kekar, namun luwes. Sogokan dan blumbangan-nya dalam, kembang kacang-nya kokoh. Greneng atau ri pandan keris buatannya jelas dan relatif besar. Kadang-kadang, kalau membuat kembang kacang Empu Jigja 'berani' keluar dari pakem. Beberapa keris yang menurut pakem memakai kembang kacang biasa, oleh Empu Jigja dibuat kembang kacang pogok. Walaupun demikian, keris yang seperti itu tetap saja manis dan serasi. Besi keris buatan Empu Jigja ada dua macam. Yang pertama besi itu berkesan kering dan madas. Warna besi itu hijau kecoklatan (serupa tlethong, warna tahi kerbau). Jenis besi ini amat sukar termakan karat. Dan, bilamana diputihkan, dibersihkan sebelum diwarangi, besi keris yang kehijauan itu berbau ramuan rempah wangi jamu. Sedangkan jenis besi yang kedua yang digunakan Empu Jigja adalah yang berwarna hitam ngelar glatik, Nglugutnglugut, pamornya ngawat ngembang bakung.
Empu Modin
Adalah nama lain dari Empu Bekeljati,
adalah seorang empu dari daerah Tuban yang hidup pada akhir zaman Majapahit.
Keris hasil karyanya berukuran sedang
panjangnya, tetapi agak tebal dan lebar. Dibandingkan dengan keris tangguh
Tuban lainnya, karya empu Modin lebih tunduk ke depan. Besinya tampak keras
dan kenyal, berwarna keabu-abuan, memberi kesan 'mentah'. Pamor yang sering
digunakan adalah Wos Wutah dan Ngulit Semangka.
Keris buatan Empu Modin kebanyakan
merupakan keris lurus, dengan dapur Tilam Upih atau Brojol. Kalau membuat
keris luk, maka luknya kemba. Kesan penampilan keris itu keras dan lugas.
Pengikut Sunan Bonang
Tentang mengapa Empu Bekeljati
kemudian lebih populer dengan sebutan Empu Modin, manuskrip Serat Pratelan
Bab Duwung yang ditulis R. Moestopo Pringgohardjo pada tahun 1961,
menyebutkan:
Pada saat Empu Bekeljati berkarya,
agama Islam baru mulai berkembang di daerah tempat tinggalnya. Yang menjadi
pemimpin mesjid Tuban di kala itu adalah Sunan Bonang, yang bukan hanya
dikenal sebagai ulama, juga sebagai orang yang memiliki banyak kesaktian.
Empu Bekeljati yang semula beragama
Hindu, kemudian menjadi salah seorang pengikut dan murid Sunan Bonang. Karena
ketekunannya mempelajari agama, Empu Bekeljati menjadi kesayangan gurunya.
Dan, karena lantang suaranya, dan fasih lafalnya, Sunan Bonang lalu menugasi
Empu Bekeljati menjadi mua'zin atau penyeru azan. Dalam logat Jawa, kata mua'zin
sering diucapkan mua'din, dan lama kelamaan menjadi modin. Begitulah, sejak
saat itu Bekeljati lebih dikenal dengan sebutan Empu Modin.
Bagi mereka yang percaya akan tuah,
keris buatan Empu Modin dikenal sebagai keris yang memiliki angsar sabar,
pemaaf, membuat pemiliknya menjadi luwes dalam pergaulan dan disayang orang
sekelilingnya. Selain itu, keris karya Empu Modin juga bisa diharapkan
mempermudah pemiliknya mencari rejeki.
Walaupun dibuat orang yang sama, ketika masih dikenal sebagai Empu Bekeljati, keris buatannya lebih ramping dibandingkan sewaktu ia sudah dikenal dengan panggilan Empu Modin. Selain itu, keris Empu Bekeljati tampilan pamornya lebih mubyar. Jika keris itu memakai luk, maka luknya agak tanggung dan samar (kemba - Jw.). Kembang kacang-nya mungil, agak kecil dibandingkan dengan ukuran bilahnya. Sogokan-nya dangkal dan pendek. Bagian janur-nya dibuat tumpul.
KI NOM, EMPU,
seorang empu yang terkenal pada zaman
Agung Hanyokrokusumo di Mataram. Beberapa orang tua ahli keris menceritakan
bahwa usia Ki Nom memang panjang sekali. Kata mereka, nama Ki Nom atau
Pangeran Warih Anom, atau Ki Supo Anom justru adalah gelar dan nama pemberian
Sultan Agung sebagai pernyataan kekaguman terhadap panjangnya umur empu yang
terkenal awet muda itu.
Konon, umur Empu Ki Nom lebih dari
100 tahun. Jika cerita-cerita mengenai dirinya benat, angka 100 itu masuk
akal, karena Ki Nom dilahirkan pada menjelang akhir zaman Majapahit, jadi
kira kira tahun 1520 an. Padahal, tatkala Sultan Agung Anyokrokusumo
mempersiapkan penyerangan ke Batavia tahu 1626, Ki Nom masih mendapat tugas
sebagai salah seorang empu tindih, yang membawahkan 80 orang empu
lainnya. Berarti pada saat itu umurnya sudah 104 tahun!
Empu Supo Anom, yang nama kecilnya
Jaka Supa sebenarnya adalah anak dari Ki Supa Mandrangi atau Pangeran Sedayu,
yang hidup pada akhir zaman Majapahit. Ibunya adalah putri kerabat kraton
yang ‘dihadiahkan’ kepada Empu Supa Mandrangi ketika pembuat keris terkenal
itu diangkat sebagai pangeran dengan gelar Pangeran Sedayu. (Ada cerita
rakyat yang menyebutkan bahwa putri keraton itu bernama Dewi Tatiban).
Kakaknya, satu ayah lain ibu, bernama Jaka Sura, juga seorang empu terkenal.
Oleh raja Majapahit terakhir Empu Jaka Sura diangkat menjadi adipati di
daerah Jenu, sehingga juga dikenal sebagai Empu Adipati Jenu.
Ki Nom sebenarnya hanya singkatan
nama atau panggilan bagi Empu Pangeran Warih Anom yang menguasai tanah perdikan
(otonomi & bebas pajak) di daerah Sendang. Itulah sebabnya ia juga
dipanggil dengan gelar Pangeran Sendang.
Tanda-tanda utama buatan empu Ki Nom
adalah: Keris dan tombak buatan Ki Nom selain indah selalu mempunyai
penampilan dan yang memberi kesan agung, anggun, mewah, berwibawa.
Ganja buatan Ki Nom, kebanyakan
merupakan ganja wilut dan kelap lintah. Sirah cecak-nya
montok dan meruncing ujungnya, gulu meled-nya besar dan kokoh. Ukuran
panjang bilahnya sedang, lebarnya juga sedang, tetapi tebalnya lebih
dibanding keris buatan Mataram lainnya, terutama dibagian tengah bilah. Bilah
buatan Ki Nom selalu berbentuk nggigir lembu. Motif pamornya biasanya
rumit, halus, dan rapat serta rapi sekali penempatannya. Besi yang digunakan,
dua rupa. Bagian tengah yang bercampur pamor warna besinya hitam keabu-abuan
atau hitam keungu-unguan, tetapi dibagian pinggir hitam legam.
Bagian kembang kacang-nya
dibuat seperti gelung wayang, tetapi berkesan kokoh, dan kalau diamati dari
sisi atas akan tampak ramping. Jalen-nya kecil, lambe gajah-nya
pendek. Blumbangan-nya dangkal, penuh dengan pamor. Sogokan-nya
juga dangkal dan menyempit ke arah ujung. Janur-nya menyerupai batang
lidi.
Salah satu keris adikarya hasil
tempaan Ki Nom yang masih dapat disaksikan hingga saat ini adalah keris berdapur
Singa Barong yang dijadikan cenderamata lambang persahabatan antara
Kasultanan Mataram dengan Kesultanan Jambi. Keris itu bernama Si Ginje, dan
saat ini tersimpan di Museum Pusat di
Jakarta.(http://www.geocities.com/javakeris/istilah.htm)
EMPU DARI ZAMAN KE ZAMAN
Dua
arti dalam istilah empu, pertama dapat berarti sebutan kehormatan misalnya
Empu Sedah atau Empu Panuluh. Arti yang kedua adalah ‘Ahli’ dalam pembuatan
‘Keris’.
Dalam
kesempatan ini, Empu yang kami bicarakan adalah seseorang yang ahli dalam
pembuatan keris. Dengan tercatatatnya berbagai nama ‘keris’ pastilah ada yang
membuat.
Pertama-tama
yang harus diketahui adalah tahapan zaman terlahirnya ‘keris’ itu, kemudian
meneliti bahan keris, dan ciri khas sistem pembuatan keris. Ilmu untuk
kepentingan itu dinamakan ‘Tangguh’.
Dengan
ilmu tangguh itu, kita dapat mengenali nama-nama para Empu dan hasil karyanya
yang berupa bilahan-bilahan keris, pedang, tombak, dan lain-lainnya.
Adapun
pembagian tahapan-tahapan zaman itu adalah sebagai berikut:
1. Kuno (Budho) tahun 125 M – 1125 M
meliputi kerajaan-kerajaan: Purwacarita,
Medang Siwanda, medang Kamulan, Tulisan, Gilingwesi, Mamenang, Penggiling
Wiraradya, Kahuripan dan Kediri.
2. Madyo Kuno (Kuno Pertengahan) tahun 1126 M –
1250 M.
Meliputi kerajaan-kerajaan : Jenggala,
Kediri, Pajajaran dan Cirebon.
3. Sepuh Tengah (Tua Pertengahan) tahun 1251 M
– 1459 M
Meliputi Kerajaan-kerajaan : Jenggala,
Kediri, Tuban, Madura, Majapahit dan Blambangan.
4. Tengahan (Pertengahan) tahun 1460 M – 1613 M
Meliputi Kerajaan-kerajaan : Demak,
Pajang, Madiun, dan Mataram
5. Nom (Muda) tahun 1614 M. Sampai sekarang
Meliputi Kerajaan-kerajaan : Kartasura
dan Surakarta.
Telah
kami ketengahkan tahapan-tahapan zaman Kerajaan yang mempunyai hubungan
langsung dengan tahapan zaman Perkerisan, dengan demikian pada setiap zaman
kerajaan itu terdapat beberapa orang Eyang yang bertugas untuk menciptakan
keris.
Keris-keris
ciptaan Empu itu setiap zaman mempunyai ciri-ciri khas tersendiri. Sehingga
para Pendata benda pusaka itu tidak kebingungan.
Ciri
khas terletak pada segi garap dan kwalitas besinya. Kwalitas besi merupakan
ciri khas yang paling menonjol, sesuai dengan tingkat sistem pengolahan besi
pada zaman itu, juga penggunaan bahan ‘Pamor’ yang mempunyai tahapan-tahapan
pula. Bahan pamor yang mula-mula dipergunakan batu ‘meteor atau batu bintang’
yang dihancurkan dengan menumbuknya hingga seperti tepung kemudian kita
mengenali titanium semacam besi warnanya keputihan seperti perak, besi
titanium dipergunakan pula sebagai bahan pamor.
Titanium
mempunyai sifat keras dan tidak dapat berkarat, sehingga baik sekali untuk
bahan pamor. Sesuai dengan asalnya di Prambanan maka pamor tersebut dinamakan
pamor Prambanan.
Keris
dengan pamor Prambanan dapat dipastikan bahwa keris tersebut termasuk
bertangguh Nom. Karena diketemukannya bahan pamor Prambanan itu pada jaman
Kerajaan Mataram Kartasura (1680-1744). Bila kita telah mengetahui tangguhnya
suatu keris maka kita lanjutkan dengan menelusuri Empu-Empu penciptanya.
I.Zaman
Tangguh Budho (Kuno) :
1. Zaman Kerajaan Purwacarita, Empunya adalah:
Mpu Hyang Ramadi, Mpu Iskadi, Mpu Sugati, Mpu Mayang, danMpu Sarpadewa.
2. Zaman Kerajaan Tulis, Empunya adalah: Mpu
Sukmahadi.
3. Zaman Kerajaan Medang Kamulan, Empunya
adalah: Mpu Bramakedali.
4. Zaman Kerajaan Giling Wesi, Empunya adalah:
MpuSaptagati dan Mpu Janggita.
5. Zaman Kerajaan Wirotho, Empunya adalah Mpu
Dewayasa I.
6. Zaman Kerajaan Mamenang, Empunya adalah: Mpu
Ramayadi.
7. Zaman
Kerajaan Pengging Wiraradya, Empunya adalah Mpu Gandawisesa, Mpu wareng dan Mpu
Gandawijaya.
8. Zaman
Kerajaan Jenggala, Empunya adalah: Mpu Widusarpa dan Mpu Windudibya.
II.Tangguh
Madya Kuno (Kuno Pertengahan)
1. Zaman
Kerajaan Pajajaran Makukuhan, Empunya adalah: Mpu Srikanekaputra, Mpu Welang,
Mpu Cindeamoh, Mpu Handayasangkala, Mpu Dewayani, Mpu Anjani, Mpu Marcu
kunda, Mpu Gobang, Mpu Kuwung, Mpu Bayuaji, Mpu Damar jati, Mpuni Sumbro, dan
Mpu Anjani.
III.Tangguh
Sepuh Tengahan (Tua Pertengahan)
1. Zaman Kerajaan Jenggala, Empunya
adalah Mpu Sutapasana.
2. Zaman Kerajaan Kediri, Empunya adalah
:
3. Zaman Kerajaan Majapahit, Empunya
adalah:
4. Zaman Tuban/Kerajaan Majapahit,
Empunya adalah: Mpu Kuwung, Mpu Salahito, Mpu Patuguluh, Mpu
Demangan, Mpu Dewarasajati, dan Mpu Bekeljati.
5. Zaman Madura/Kerajaan Majapahit,
Empunya adalah: Mpu Sriloka, Mpu Kaloka, Mpu Kisa, Mpu Akasa, Mpu
6. Lunglungan dan Mpu Kebolungan.
7. Zaman Blambangan/Kerajaan Majapahit,
Empunya adalah: Mpu Bromokendali, Mpu Luwuk, Mpu Kekep, dam Mpu
8. Pitrang.
IV. Tangguh Tengahan (Pertengahan)
1. Zaman Kerajaan Demak, Empunya adalah: Mpu
Joko Supo.
2. Zaman Kerajaan Pajang, Empunya adalah Mpu Omyang,
Mpu Loo Bang, Mpu Loo Ning, Mpu Cantoka, dan Japan.
3. Zaman Kerajaan Mataram, Empunya adalah: Mpu
Tundung, Mpu Setrobanyu, Mpu Loo Ning, Mpu Tunggulmaya, Mpu Teposono,
Mpu Kithing, Mpu Warih Anom dan Mpu Madrim
V.Tangguh
Nom (Muda)
1. Zaman
Kerajaan Kartasura, Empunya adalah: Mpu Luyung I, Mpu Kasub, Mpu Luyung II,
Mpu Hastronoyo, Mpu Sendang Warih, Mpu Truwongso, Mpu Luluguno, Mpu Brojoguno
I, dan Mpu Brojoguno II.
2. Zaman
Kerajaan/Kasunanan Surakarta, Empunya : Mpu Brojosentiko, Mpu Mangunmalelo,
Mpu R.Ng. Karyosukadgo, Mpu Brojokaryo, Mpu Brojoguno III, Mpu Tirtodongso,
Mpu Sutowongso, Mpu Japan I, Mpu Japan II, Mpu Singosijoyo, Mpu Jopomontro,
Mpu Joyosukadgo, Mpu Montrowijoyo, Mpu Karyosukadgo I, Mpu Wirosukadgo, Mpu
Karyosukadgo II, dan Mpu Karyosukadgo III.
Demikian
sekilas uraian tentang Mpu-Mpu dan zaman ke zaman. Keberadaannya sudah tentu
menyemarakkan dunia perkerisan selalu sarat dengan karya-karya baru yang
terus berkembang dari zaman ke zaman.
Dari
keris-keris lurus hingga keris-keris yang ber luk. Ditambah dengan beraneka
macam ragam hias pada bilahannya. Semua menuju ke arah maju, tetapi tidak
meninggalkan pakem (standar(.
Ragam
hias itu berupa kepala hewan yang diletakkan pada gadik misalnya kepala naga,
anjing, singabarong, garuda, bahkan puthut. Dengan ditambahkannya
bentuk-bentuk itu, sekaligus nama keris itupun berubah, naga siluman, naga
kembar, naga sosro, naga temanten, manglar monga, naga tampar, singa barong,
nogo kikik, puthut dan lain-lainnya.
Bahkan
zaman Kasultanan Mataram sejak masa Pemerintahan Sultan Panembahan Senopati,
dunia Perkerisan tampak makmur lagi, lesan mewah tampak pada bilahan keris
yang diserasah emas.
Sultan
yang arif dan bijaksana itu membagi-bagikan keris sebagai tanda jasa kepada
mereka yang berjasa kepada pribadi Sultan maupun kepada Negara dan Bangsa.
Tentu saja ragam hiasannya satu dengan lain berbeda walaupun demikian tidak
meninggalkan motif aslinya.
Hiasan
yang terasah emas itu terletak pada gonjo atau wadhidhang dengan bentuk bunga
anggrek atau lung-lungan dari emas. Atau sebantang lidi yang ditempelkan pada
gonjo atau dibawah gonjo terdapat Gajah dan Singa terbuat dari emas juga.
Tentu saja penciptanya adalah para pakar perkerisan yang kita kenal dengan
sebutan Empu
Keris Brajaguna
KERIS BROJOGUNO BISA MENEMBUS BAJA BESI
Para kolektor keris
pernah menghindari koleksi keris-keris dari jaman Pajang dan Kartasura.
Mereka berpendapat tosan aji dari kedua jaman itu ,dianggap kurang baik,
karena berasal dari jaman Kraton yang umurnya relatif pendek. Keraton Pajang umurnya hanya 32
tahun (1628-1660) dan Kartasura hanya 75 tahun (1670-1745). Keduanya runtuh karena peperangan. Patut
dipertanyakan apakah alasan itu lebih didasarkan atas hasil karyanya ataukah
oleh sebab filosophy lain. Dalam sejarah memang disebutkan ,selama kedua
kerajaan itu berdiri diwarnai dengan banyak peperangan dan kerusuhan. sehingga
menyimpulkan hasil karya para empunyapun kurang bagus karena dibuat
dalam suasana tidak aman.
Demikian antara lain
terungkap dalam sarasehan terbatas Pametri Wiji . Pakar keris KRT Sumosudiro
mengatakan, Kerajaan Pajang berdiri sebelum Keraton Mataram. Sedang Kerajaan
Kartasura merupakan perpanjangan Kerajaan Mataram. Disebutkan, sepeninggal
Sri Susuhunan Amangkurat Agung (Seda Tegalarum) tampuk pemerintahan dipegang
oleh puteranya, Pangeran Adipati Anom yang kemudian menjadi Sri Susuhunan
Amangkurat II. Pusat Kerajaan Mataram, Plered, ketika berhasil direbut dari
tangan pemberontak sudah dalam keadaan rusak. Itulah sebabnya keraton
dipindah kehutan Wonokerto yang kemudian dijadikan pusat kerajaan dan diberi
nama Kartasura Hadiningrat.
Di jaman Pajang dengan
Raja Sri Sultan Hadiwijoyo dikenal beberapa orang empu, diantaranya Empu
Umyang dan Empu Cublak.
Empu Umyang adalah anak
Empu Supa (Sepuh) dari jaman Majapahit. Ki Umyang juga disebut Ki Tundhung Kudus. Disebut
demikian karena sewaktu mengabdi kepada Raja Pajang ia diusir dari keraton
gara-gara difitnah oleh rekannya Empu Cublak. Di Kudus pembuat keris ini
tidak lama, kemudian ia mengabdi ke kerajaan Mataram, bahkan dia diangkat
menjadi pemimpin para empu, dan diberi gelar Ki Supa Anom atau lebih kondang
disebut Ki Nom.
Karya
Empu Umyang banyak dipercaya masyarakat jika digunakan untuk mengkreditkan
uang akan menguntungkan. Yang berhutang selalu akan risih karena diganggu
oleh dhemit dan thuyul yang bercokol di dalam keris Umyang itu. Keris Umyang
ditandai dengan bagian sor-sorannya yang mbekel (buncit) seperti perut
Bethara Narada atau ngedhe karena luknya berjalan kekiri, tidak kekanan
seperti lazimnya. Namun menurut pakar tayuh keris R. Oesodo, keris Umyang
tidak selalu ngedhe. Ada juga keris Umyang yang berluk biasa bahkan ada juga
yang berdapur lurus.
Mbah Prawirosudarmo
(alm.) paranormal dari sentolo pernah mengingatkan, tidak semua orang bisa
memakai keris Umyang. Beliau mengaku sudah beberapa kali kedatangan keturunan
orang kaya di Kota gede. Mereka mengeluh kehidupannya terlunta-lunta dan
tidak merasa tentram. Menururt pengamatan batin Mbah Prawirosudarmo ternyata
mereka menyimpan keris Umyang yang sewaktu orang tuanya selalu diberi sesaji
gecoh daging mentah pada waktu-waktu tertentu. Atas sarannya keris warisan
orang tuanya itu dilabuh di Laut Kidul meskipun pusaka itu sedah diberi
busana yang mewah. Nyatanya setelah hal itu dikerjakan, mereka dapat
menjalani kehidupannya dengan baik dan tenteram.
Pada umumnya keris
tangguh Pajang memiliki besi mentah, terkesan kurang tempaan Pamornya mubyar
(menyala) putih seperti perak. Baja sedang jika berluk, kellokannya terlihat
rapat (kekar). Ganja umumnya besar. Sirah cecak juga besar.
Tantingannya agak berat, lebih berat dari keris-keris Mataram.
Selain
Umyang di jaman Pajang juga dikenal Empu Cublak, Empu Wonogati, Empu
Surawangan, Empu Joko Puthut dan Empu Pengasih. Pembuatkeris yang disebut
terakhir ini ditandai dengan karyanya yang tidak berpamor.
Berbicara tentang keris
tangguh Kartasura, Sumosudiro mengutip uraian M Ng. Wirasukadga dari Keraton
Surakarta sbb. : ganja sebit lontar, sirah cecak lancip, badan bilah tebal,
dan kau (janggal), besi keropos dan keputihan, pamor mengambang dan mubyar
(menyala putih seperti perak) atau tidak berpamor. Gaya keris Kartasura mirip
keris Mataram. Pasikutannya nyatriya, terkesan seperti seorang satriya,
tetapi kasar. Yang
luk umumnya rapat (kekar).
Empu yang terkemuka di jaman itu adalah Empu
Brojo (Brojoguno I) yang mengabdi di kraton. Hasil karyanya terkesan sangat
keras, bisa menembus uang logam, bahkan konon bisa menembus baju besi (kere
waja). Empu lainnya adalah Empu Sentranaya III, Empu Sendhang Warih, Empu
Taruwangsa, Empu Japan dan masih banyak lagi. Di jaman Keraton Kartasura
telah dibat duplikat keris pusaka Kangjeng Kyai Ageng Maesa Nualr. Tidak
jelas apakah KKA Maesa Nular yang dimiliki Keraton Yogyakarta itu asli atau
duplikatnya yang dibuat di jaman Kartasura. Menururt
catatan keris pusaka itu berdapur Maesa Lajer.
Pada masa itu para empu
keraton juga membuat duplikat tombak pusaka Kangjeng Kyai Ageng Pleret.
Sewaktu Geger Pacinan tombak inventaris keraton ini diamankan oleh abdidalem
Suranata. Namun
Pangeran Mangkubumi (kemudian menjadi Sri Sultan HB I) yang melihatnya segera
merebutnya. Selanjutnya menjadi milik Keraton Yogyakarta. Apakah yang
dilarikan itu tombak yang tulen ataukah tombak yang putran/tiruan..? sulit
untuk dijawab, karena hampir tidak mungkin menelitinya.
|
Friday 15 November 2013
keris dan empunya
Subscribe to:
Posts (Atom)